Berada di tengah komunitas Muslim dan hidup berbaur
dengan mereka tidak sekedar menjadi konsekwensi dari pilihan residensi ketika
memutuskan untuk berada di Yogyakarta, melainkan sebuah anugerah untuk belajar
secara lebih hidup dan dinamis untuk mengerti bagaimana kehidupan keagamaan
yang sebenarnya terjadi di kalangan grass
root setelah hampir dua puluh lima tahun hidup dan bertumbuh di tengah
komunitas yang homogen secara religius apalagi dalam konteks Maluku era dan
pasca konflik yang tersegregasi secara parmanen oleh garis agama. Sebelum
melanjutkan tulisan ini, saya hendak menyampaikan bahwa refleksi ini saya
persembahkan kepada seluruh komunitas Muslim di Indonesia, secara khusus di
Maluku yang sedang berada dalam suasana perayaan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1433
H.
Beberapa saat yang lalu saya memilih untuk
mengelilingi kompleks di sekitar rumah tempat tinggal saya dan beberapa kawasan
ramai di Jogja, tidak terkecuali Malioboro. Aktifitas yang terjadi hampir
semuanya mirip di setiap kawasan itu, dimana banyak orang yang secara komunal
diatur dalam barisan parade untuk menggelar apa yang dikenal dengan nama takbiran sebagai proses yang menandai
bahwa puasa telah berakhir dan dimulainya bulan Syahwal. Setiap perempuan dan
laki-laki yang terlibat di dalamnya memiliki perannya masing-masing; laki-laki
melantunkan lagu Islaminya (Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. la
ilaha illa Allah. Allahu akbar, Allahu akbar. Wa li-illahi al-hamd),
sedangkan para perempuan menuntun anak-anak dengan ornamen musikal yang
dimainkan sehingga membuat bulu kuduk semua orang yang mendengarnya berdiri,
termasuk saya, dan saya harus jujur mengatakan bahwa nyanyian-nyanyian itu
begitu mempesona dan memiliki potensi untuk membuat orang akan memandangnya
penuh kagum. Nyanyian-nyanyian itu semakin lagi menakjubkan ketika diiringi
dengan suara Adzan dari Masjid yang mengumandangkan secara terus-menerus kalimat
syahadat “asyhadu an-laa ilaaha illallaah, wa asyhadu
anna muhammadan rasuulullaah”. Proses ini
menjadi puncak dari rangkaian sholat Tawarih yang dilakukan selama bulan
puasa. Saya kemudian mencoba membangun makna dari apa yang terjadi dan kemudian
tiba pada interpretasi personal berdasarkan keterbatasan pemahaman tentang
Islam dandialog yang hidup bersama mereka. Memproklamirkan kapasitas Allah
menjadi sesuatu yang sangat esensial dari peristiwa ini, tetapi yang kemudian
harus mengarah pada pengalaman riil kemanusiaan. Disini titik berangkat saya
untuk memahami semarak Idul Fitri yang sadar ataupun tidak sedang digaungkan.
Oleh karena setiap aktifitas yang terjadi dalam arak-arakan perayaan
Idul Fitri tidak lain (jika tidak, mungkin salah satunya) ialah mengumandangkan
identitas dan eksistensi Allah, maka saya mencoba memahami persitiwa sakral ini
dari perspektif ini. Tindakan
pengungkapan identitas dan kapasitas keilahian Allah yang tunggal sekali lagi
memberi impresi kuat bahwa Idul Fitri sebagai puncak dari selebrasi Ramadhan
harus menempatkan Allah sebagai sentral (teosentris). Tindakan ini sepenuhnya
menuntut setiap orang yang terlibat di dalamnya untuk mengakui eksistensi ini,
dan pengakuan seperti itu harus dilakukan dengan sepenuh hati dan jiwa. Saya
rasa, dalam perspektif kekristenan ada kesamaan yang absolut dari konfesi
syahadat ini dengan tradisi taurat dalam Perjanjian Lama yang menghendaki
komunitas Israel sebagai representasi dari komunitas iman untuk tetap konsisten
dengan Allah ketika ditegaskan “jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku”
(Ulangan 5:7). Bahkan juga dalam tradisi
Perjanjian Baru dapat dijumpai upaya Yesus untuk kembali menguatkan asumsi ini
ketika mengajar dan mengajak pendengarnya untuk mengasihi Allah dengan segenap
potensi kemanusiaan yang dimiliki (Matius 22:36).
Banyak orang dari kalangan fundamental baik Islam ataupun Kristen seringkali
menggunakan teks-teks yang senada untuk menjustifikasi gagasan bahwa Allah
komunitas Islam berbeda dengan Allah yang diyakini oleh orang Kristen, sehingga
ini awal dari dosa sejarah yang panjang dalam perjumpaan dua agama Abrahamik
ini. Yang benar-benar terjadi ialah apa yang diyakini oleh Islam melalui
syahadat ini adalah kebenaran mutlak adanya, dan keyakinan kekristenan mengenai
identitas keilahian juga pada dasarnya merupakan kebenaran yang tidak dapat
terbantahkan. Keduanya sama-sama meyakini Allah dalam identitas ketunggalanNya
tetapi dengan bertolak dari pengalaman menjumpai yang berbeda dimana yang dari
padanya juga muncul berbagai keragaman refleksi
dan teologi. Jika posisi ini dibalik dalam batasan argumentasi eksklusif
mengenai eksklusifisme Allah yang hanya untuk suatu golongan tertentu, maka menurut
saya ini cara yang kita tempuh untuk membatasi luasnya jangkauan interventif
Allah yang bekerja dalam sejarah kemanusiaan yang terkotak-kotak karena
pengalaman, ruang, dan waktu. Pengingkaran bermotif eksklusifisme ini
sebetulnya juga melahirkan makna kontras bahwa Allah yang diyakini tidak
sepenuhnya otoritatif dan tunggal sebab disamping eksistensiNya ada juga
allah-allah lain dalam frame agama-agama tertentu. Yang hendak saya
katakan disini ialah bahwa kecendrungan menganggap agama sendiri benar dan yang
lainnya tidak sekaligus menekankan bahwa Allah hanya menjadi Allah atas
sejumlah manusia tertentu, tetapi jika mengakui peran kreasionis Allah sebagai
yang bertanggungjawab atas penciptaan manusia dan alam maka kita akan mengakui
bahwa Allah yang satu-satunya itu juga menjadi satu-satunya Allah bagi suatu
komunitas berkeyakinan lain. Saya merasa sangat berterima kasih kepada para
ilmuwan Muslim yang pada Oktober 2007 turut memperkuat asumsi ketunggalan Allah
dalam kekristenan dan Islam dan menjadikannya sebagai common ground bagi
perjumpaan keduanya, tetapi sekaligus pada sisi yang lain tetap mempertahankan
keunikan masing-masing tradisi sebagai kekayaan.
Kembali pada esensi rangkaian proses menyambut Idul Fitri di atas, saya
melihat bahwa dengan mengumandangkan posisi sentral Allah aktifitas ini
sekaligus menjadi kritik terhadap kekuatan-kekuatan anti kehidupan yang
berupaya untuk mengendalikan totalitas kehidupan manusia dan memposisikan diri
seolah-olah sebagai ‘Allah’. Proklamasi ketunggalan Allah sekaligus menjadi
kritik terhadap kekuatan koruptor dan para elit politik bangsa ini yang tidak
adil yakni yang harus bertanggung jawab atas penderitaan dan kemiskinan yang
merajalela, sebab tindakan korupsi sebetulnya juga merupakan tindakan untuk
mengambil peran sebagai ‘alah-alah’ kecil bagi rakyat kecil yang menderita. Perayaan
hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1433 H yang dilakukan selepas peringatan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hendaknya dimaknai sebagai kado ulang tahun
bagi bangsa ini. Dimana di dalamnya kekuatan religius yang terwakili oleh Islam
mengungkapkan bahwa kemerdekaan yang sejati belum ter-manifest dalam
kehidupan keindonesiaan, sebab kekuatan-kekuatan kolonialisme kontemporer masih
begitu menguat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi, kemiskinan,
penderitaan, kekerasan, terorisme dan pelanggaran HAM, serta pembatasan
kebebasan beragama adalah wajah dari perbudakan yang diciptakan oleh
manusia-manusia yang hendak menjadi allah. Oleh karena ini, gerakan kemerdekaan
sejati harus dilandaskan dan dimulai dengan mengakui bahwa hanya ada satu
kekuatan yang sejati dan itulah kekuatan keadilan dan keadilan itu sendiri
memiliki akar yang tidak dapat dicabut dari Allah.
Dengan ini saya pikir bahwa dimensi teologis dari perayaan Idul Fitri
akan mengarah dan bermuara pada dimensi humanitas. Merayakan Allah melalui
peristiwa ini sebetulnya juga adalah merayakan kemanusiaan, dan dengan demikian
proklamasi keallahan ialah juga proklamasi kemanusiaan. Salah satu hal penting
dalam merayakan bulan puasa ialah tradisi infaq dimana kesadaran sosial
menjadi sangat penting. Dalam tulisannya yang membahas tentang pergeseran
perilaku Ramadhan pada koran Kompas edisi 13 Agustus lalu, Ali Mustafa
Yaqub mengungkapkan bahwa salah satu perilaku nabi Muhammad SAW yang sangat
menonjol selama bulan Ramadhan adalah sikap kedermaannya yang sangat tinggi.
Sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas menuturkan bahwa apabila datang bulan
Ramadhan, nabi sangat dermawan ibarat angin yang kencang. Hal ini berarti bahwa
sang Nabi menempatkan ‘solidaritas sosial’ sebagai hal yang juga sama
pentingnya dengan proklamasi ketunggalan Allah, oleh karena itu semarak
Ramadhan ialah semarak perjuangan nilai-nilai kemanusiaan. Saya rasa ini point
yang paling menyentuh totalitas kehidupan manusia sehingga menjadikan Idul
Fitri berjasa bagi kemanusiaan melintasi batas-batas sosial yang
dikonstruksikan.
Saya hendak menutup tulisan ini dengan mengatakan bahwa dalam konteks
keindonesiaan, bukan hanya Allah dalam eksistensiNya yang sedang terancam,
tetapi juga kemanusiaan orang-orang Indonesia sedang tercabik-cabik. Perayaan
Idul Fitri menuntut bukan hanya komunitas penganut Islam untuk berjuang bagi
keadilan dan perdamaian manusia dan semesta Indonesia, melainkan semua orang
yang menjadi bagian dari bangsa ini.
Selamat Merayakan Semarak Idul Fitri I Syawal 1433
H.
Kampung Klitren, Yogyakarta.
Tulisan ini merupakan salah satu refleksi yang membawa kita masuk lebih dalam kepada makna sebuah perayaan. Dalam perenungan yang sangat terbatas, saya juga yakin bahwa di sisi lainnya, dalam sebuah perayaan bukan hanya manusia yang merayakan "Allah" dan "kemanusiaan"; tetapi juga Allah sendirilah yang turut merayakan "manusia" dan "kemanusiaan manusia" yang oleh karena kasih dan rahmat-Nya yang tak terbatas telah menganugerahkan kehidupan yang lebih bermakna kepada manusia itu sendiri. Karena itu, makna sebuah perayaan selain merayakan "Allah" dan "kemanusiaan", juga bermakna merayakan "manusia" dan "kemanusiaannya" oleh Allah. Ini hanya sekadar refleksi terbatas saya terhadap tulisan menarik yang telah disuguhkan saudara Nelson sebagai salah satu "menu rohani" bagi kita dalam semarak Idul Fitri kali ini. Kiranya tulisan ini menjadi "gizi tambahan" bagi kita dalam menjalani kehidupan bersama sebagai Indonesia. Salam buat kita semua.
BalasHapusNB: "sholat Tawarih", mungkin seharusnya "sholat Tarawih" (sekadar ralatan redaksional).
Saya sangat mengapresiasi Bang Firman yang sudah membaca tulisan ini. Saya rasa apa yang bang sampaikan sangat menarik sekali mengenai Allah yang juga merayakan kemanusiaan. Mungkin artikel ini akan lebih 'sedikit menarik' lagi jika perspektif yang diutarakan bang menjadi idea yang juga disoroti dengan berlandas pada gagasan bahwa identitas kedirian Allah hanya dapat dimaknai dalam frame kemanusiaan, dan disinilah proses dialektis terjadi antara keduanya. Terima kasih juga untuk koreksi teknisnya akibat kesalahan pengetikan. Wassalam!
BalasHapusTrimakasih banyak Nelson! Saya sangat mengapresiasi tulisanmu ini minimal krn 2(dua) hal: pertama, karena tulisan ini memang sarat dgn makna teologis-humanitas dan perenungan mendalam ttg bgm kita seharusnya memaknai kedirian kita dlm sebuah perayaan; dan kedua, di antara seluruh peserta Kuliah Alih Tahun (KAT) Persetia thn 2012 barusan di Ambon, setahu saya hanya saudara Nelsonlah satu-satunya yang mungkin ingat dan memberi waktunya sedikit di tengah-tengah kesibukan studi dan pelayanan untuk menuliskan sebuah refleksi menawan dlm perayaan Idul Fitri kali ini. Selamat berkarya, Tuhan memberkati. Salam buat kita semua.
Hapus