Total Tayangan Halaman

Jumat, 03 November 2023

Pemuda, Kekristenan, dan Moderasi Beragama

Pemuda, Kekristenan, dan Moderasi Beragama

 

Salah satu program prioritas Indonesia saat ini ialah Moderasi Beragama. Diambil dari bahasa Inggris “moderation”, istilah moderasi dapat diartikan sebagai “jalan tengah “ (middle way), “tidak ekstrim atau berlebihan”, “pilihan terbaik”, “toleransi” “berorientasi pada kemanusiaan” dan “budaya damai”. 

Dalam makna yang luas, moderasi diartikan sebagai Moderasi beragama berarti cara beragama jalan tengah… Dengan moderasi beragama, seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya. Orang yang mempraktekkannya disebut moderat.” (Kemenag RI, 2019: hlm. 7)

 

Terdapat empat indikator moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan terhadap budaya lokal. Jadi, dengan begitu, bersikap moderat tidak hanya sekedar menghargai perbedaan yang ada, tapi menjunjung perbedaan itu dalam budaya damai. 

 

Sekalipun proyek kebangsaan ini penting untuk dilakukan, tapi mengupayakan moderasi beragama sangat tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena beberapa tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Misalnya saja iliterasi agama, hyper-religiusitas, ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme, globalisasi, politik identitas, trauma kolonial, dan sindrom mayoritas-minoritas. Inilah yang membuat upaya membangun masyarakat moderat semakin menantang. 

 

Dalam sejarah perkembangan kekristenan, ada tiga arus ideologis yang dapat mempengaruhi dinamika moderasi, misalnya ekslusifisme, inklusifisme, dan pluralisme. Pandangan utama ekslusifisme ialah “keselamatan hanya bagi orang Kristen” atau extra ecclesia nulla salus. Pandangan inklusifisme meyakini bahwa keselamatan dimungkinkan bagi orang-orang di luar keekristenan sejauh dalam kendali Kristus. Sedangkan, pandangan pluralisme mempromosikan gagasan bahwa setiap agama menawarkan bentuk dan cara keselamatan yang berbeda. 

 

Beberapa teolog Kristen memahami moderasi beragama, sebagai berikut: 

 

Emanuel Gerrit Singgih: “Dengan demikian kita dapat berbicara mengenai moderasi beragama dalam konteks etika kebajikan, bahkan dalam konteks permasalahan teologi praktis. Moderasi beragama secara praktis adalah sikap dari orang beragama yang menahan diri dari kekerasan dan/atau ungkapan-ungkapan intoleran, baik terhadap kalangan sendiri maupun terhadap mereka yang beragama lain. Menahan diri dalam rangka menghargai orang lain dalam keberlainannya merupakan bagian penting dari moderasi.” (Singgih, 2022:191)

 

Albertus Patty (via Singgih, 2022): “Dalam suatu masyarakat majemuk, orang perlu moderat dalam arti membuat keseimbangan. Dalam situasi-situasi tertentu orang dapat berpihak. Tetapi keberpihakan tersebut diambil dalam rangka menyeimbangkan. Jika komunitas keagamaan terlalu eksklusif, maka baiklah dibuat keseimbangan sehingga dengan demikian komunitas tersebut dapat menjadi inklusif. Moderasi beragama bukan sebuah sikap teologis, melainkan sebuah kebijaksanaan praktis.”


Robert Setio (via Singgih, 2022): “Yang paling penting adalah bahwa moderasi beragama harus muncul dari dalam kesadaran batin atau hati nurani masyarakat, dan bukan sesuatu yang dipaksakan dari atas, entah dari pemerintah secara keseluruhan atau dari sebuah kementerian.”

 

Melacak moderasi beragama dalam sejarah kekristenan tidak bisa dilepaskan dari sejarah gerakan ekumenis untuk dialog antar agama. Contoh paling awal untuk inisiatif moderasi beragama ialah pembentukan Parlamen Agama-agama Dunia (The World’s Parlement of Religions) pada tanggal 11 September 1893 yang menjadi platform perjumpaan bagi sepuluh agama besar. Dalam pertemuan ini, 400 utusan dari agama-agama tersebut menjadi “a subject in the encounter” (Moyaert, 2013: 195)Selain itu, Deklarasi Nostra Aetate yang dicetuskan setelah Konsili Vatikan II (1962-1956) juga menjadi contoh lain dari upaya moderasi beragama yang dipelopori oleh gereja. Sejak tahun 1971, Dewan Gereja se-Dunia (World Council of Churches) juga membentuk departemen “Dialog dan Kerjasama Antar Agama) yang bertujuan untuk mememperkuat hubungan gereja dan agama-agama lain, serta melakukan kajian, publikasi, dan pelatihan. Salah satu program rutin untuk penguatan moderasi yang dilakukan oleh WCC ialah YATRA (Youth in Asia Training for Religious Amity).

 

Pertanyaan konkrit bagi pemuda ialah: bagaimana pemuda mewujudkan moderasi beragama? Ada beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangkan, yaitu:

 

       Mengembangkan literasi agama 

       Tidak mengklaim bahwa tradisi agamanya yang paling benar

       Bersikap interpati, artinya saling berempati satu dengan yang lain

       Mengedepankan nilai-nilai agama yang berpihak pada kemanusiaan

       Tidak terlibat dalam politik identitas agama

       Memperkuat wawasan kebangsaan

       Bangga dengan budaya lokal

       Pro-aktif dalam mengkampanyekan toleransi

 

Oleh karena itu, maka sebagai pemud Kristena, marilah kita mewujudkan cita-cita untuk menjadi bangsa yang moderat, toleran, dan cinta damai!

 

Salam Moderasi dari Tarutung!

Sabtu, 02 September 2017

"Pusuk Buhit": Situs Sakral?

Weekend kali ini saya diajak seorang teman untuk bergabung bersama dalam kunjungan kemahasiswaan ke Pulau Samosir. Mengingat banyak yang mungkin belum tahu dimana pulau ini berada, maka saya perlu memberi informasi histo-geografis mengenainya. 


Samosir adalah sebuah pulau ajaib yang terletak di tengah-tengah Danau Toba, danau terbesar atau terluas di Indonesia, dan bahkan dianggap sebagai salah satu yang terbesar di dunia. Danau ini terbentuk akibat aktivitas ledakan tekto-vulkanik sekitar k.l. 75.000 tahun yang lalu. Cukup tua bukan? Ya memang tua, bahkan lebih tua dari sejarah peradaban Kekristenan. Di tengah-tengah pulau inilah terletak Pulau Samosir, yang luasnya bisa dipersandingkan dengan Pulau Ambon. 


Pulau ini terkenal dengan julukan "Negeri Indah Kepingan Surga". Julukan ini tentu memiliki motif turistik dengan tujuan menggaet para turis yang penasaran dengan pesona alam, histori, serta budaya yang masih kuat dipelihara. Berdasar pada pengalaman beberapa kali mengunjungi pulau ini, saya pikir bahwa julukan ini tidaklah berlebihan. Pesona alam yang diwarnai biru Danau Toba, lekukan bukit dan gunung hijau, hamparan Sawah yang menguning, dan langit yang membiru adalah cukup untuk kesan keindahannya. Dari aspek histori dan budaya, Samosir adalah pulau yang menyimpan banyak cerita tentang leluhur etnis Batak serta praksis budaya yang terasa masih kuat dipegang dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain yang didiami kelompok etnis ini. Setidaknya itu kesan saya saat berada di pulau tengah danau ini. 


Well, dalam perjalanan ke Pulau Samosir jalanan melingkar ditempuh oleh rombongan kami dengan maksud untuk mampir, menyaksikan, dan belajar dari beberapa situs sejarah dan budaya Batak. Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Pusuk Buhit yang secara geografis masih berada di pulau induk, Pulau Sumatera. Ziarah ke tempat inilah yang melatari catatan reflektif saya ini.


Bagi masyarakat Batak, Pusuk Buhit adalah situs yang dianggap memiliki nilai sejarah, kosmologis, dan mitologis tertentu. Istilah ini berasal dari bahasa Batak Toba yang bisa diterjemahkan "Pusat atau Inti Bukit" (Pusuk: Pusat dan Buhit: bukit). Keintian bukit ini sangat terkait erat dengan keyakinan kosmologis atau mitologis yang dikonstruksi dan direnarasikan dari generasi ke generasi. 


Dalam kepercayaan lokal masyarakat Batak, Pusuk Buhit adalah tempat dimana Debata Mula Jadi Nabolon untuk pertama kalinya menurunkan "agennya" yang kemudian dikenal sebagai raja pertama bangsa Batak. Debata Mula Jadi Nabolon adalah dewa tertinggi yang mendiami dunia atas. Dalam kosmologi Batak kuno, sebagaimana dipegang teguh oleh penganut Parmalim (religi Batak), dunia dibagi dalam tiga strata, yakni dunia atas yang didiami oleh Debata, dunia tengah oleh manusia dan luhur, dan dunia bawah oleh kuasa kegelapan. Untuk menjangkau dunia bukan atas, maka  Debata "mengimanensi" dirinya melalui wujud raja. Peristiwa imanensi ini terjadi di atas Pusuk Buhit. Inilah yang melatari penyifatan "keramat" atau "sakral" pada bukit ini. Oleh karena itu, Pusuk Buhit adalah simbol sakralitas kebatakan.


Dalam perkembangan kemudian, yakni pada saat kekristenan memasuki Tanah Batak, keyakinan mitologis ini kemudian dipertanyakan. Hal ini tentu dipahami karena kekristenan yang diperkenalkan di seantero Nusantara, termasuk di tanah Batak, adalah kekristenan Barat yang sangat alergis bahkan konfrontatif terhadap praksis religi dan budaya lokal. Ini terjadi dimana-mana seperti juga di Ambon, ketika bahasa Tana yang merupakan bahasa asli pun difatwakan sebagai sesuatu yang kafir. Tidak heran mengapa orang Kristen Ambon tidak punya bahasa daerah sama seperti orang-orang Islam yang resisten terhadap kolonialisme Belanda kala itu. Sebagai warisan "agama kolonial", sikap skeptis kekristenan Batak terhadap kosmologi dan ritus lokal ternyata masih berlanjut hingga saat ini. Bahkan, sakralitas situs ini terus dipertanyakan. 


Nah, inilah pertanyaan yang coba saya refleksikan sesaat setelah mengunjungi tempat tsb. Terlepas dari benar-tidak, historis atau ahistoris, dan fakta atau mitos narasi yang dibangun tentang Pusuk Buhit, saya punya kesan tersendiri mengenai dimensi sakral situs itu. Saya mencoba mengargumentasikan sakralitas Pusuk Buhit dalam tiga point.


Pertama, sakralitas arena. Saat berkunjung ke bukit ini siang tadi saya menyaksikan sebuah praktek ritus pemanggilan leluhur yang pengejawantahannya adalah peristiwa "kerasukan arwah leluhur". Peserta ritus adalah anggota-anggota dari satu klan yang nampaknya sedang diperhadapkan dengan sebuah persoalan familial. Persoalan ini dituturkan lalu dimediasi oleh seorang "amang" (bapak) yang sepertinya bertanggungjawab sebagai tua adat. Ia adalah seorang yang menganut religi Parmalim. Di dalam tubuh tua adat inilah, leluhur keluarga hadir dan berbicara. Yang menarik bagi saya bukanlah peristiwa hadirnya leluhur (yang benar atau tidaknya tak bisa saya pastikan), melainkan peserta ritus yang didominasi oleh para perempuan berhijab. Hijab inilah yang menjelaskan kepada saya bahwa peserta ritus adalah non-Parmalim, juga non-Kristen, melainkan beragama Islam. Dari percakapan lanjut diketahuilah bahwa klan ini berasal dari Sibolga, Tapanuli Tengah. Seorang teman menuturkan bahwa ada juga orang-orang Kristen yang melaksanakan ritus serupa di situ. Dengan demikian, saya dapat menduga bahwa "arena" ini menjadi tempat sakral bukan hanya kepada orang-orang Parmalim, tetapi juga orang-orang Kristen dan Islam yang hadir di sana. Sekali lagi, lepas dari usaha untuk membenar-tidakan praksis ini dan ataupun usaha menamainya sinkretisme atau bukan, arena ini adalah "simbol kebersatuan" orang Batak, apapun latar belakang religiositasnya. Arena "pusuk" ini menjadi sebuah panggung dimana orang-orang Batak berkumpul, beragama atau tidak, seagama atau bukan. Di tengah-tengah ancaman segregasi religius yang semakin menguat, "arena dan tradisi kosmologis" justeru dapat menjadi 'public sphere' yang mempertemukan orang-orang yang berkepercayaan beragam. Di sinilah letak sakralitas Pusuk Buhit. 


Kedua, sakralitas ekologis. Teman saya -Roy Charly Sipahutarr - membantu saya memahami sakralitas yang kedua ini. Dengan dipeliharanya narasi tentang dimensi mistik tempat ini, maka masyarakat pun tidak akan semena-mena dalam memperlakukan alam sekitar areal ini. Kesadaran yang dikonstruksi masyarakat adalah bahwa akan terjadi ketidakseimbangan kosmos jika areal sakral ini dicemari. Oleh karena itulah, tindak eksploitatif terhadap alam sekitar pun jarang terjadi karena orang menganggapnya sebagai wilayah non-profan dan takut terhadap dampak yang muncul. Nah, hal ini memang bisa diperdebatkan oleh ekoteologi Kristen yang mengharuskan alam diperlakukan dengan adil karena kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang juga memiliki nilai diri, sama seperti manusia. Saya bisa memahami hal demikian. Tetapi, kosmologi yang dibangun oleh masyarakat ini tidak dapat disangkal memiliki dampak ekologis yang positif. Oleh karenanya, bisa dibenarkan bahwa kosmologi dan atau mitologi memiliki fungsi untuk menjaga kosmos tetap berada dalam gerak yang seimbang. 


Ketiga, sakralitas relasi. Di atas bukit ini ditemukan salah satu patung yang dipercaya adalah Nyi Roro Kidul, ratu pantai selatan Jawa. Pelaku budaya percaya bahwa ia adalah puteri sang raja yang hilang dikemudian hari. Penjelasan teman lagi-lagi menolong saya untuk memahami motif konstruksi mitos yang demikian, yakni sebagai sebuah upaya mitologis untuk membangun ruang relasi dengan komunitas etnis di luar garis kebatakan, terutama Jawa.  Jika di atas Pusuk Buhit ini terdapat usaha untuk membangun relasi dengan kelompok etnis lain, maka saya menganggapnya sebagai bentuk sakralitas yang lain. Bukankah membangun relasi antar sesama manusia adalah sebuah ibadah? Jika itu disebut ibadah, maka bukankah itu sakral?


Danau Toba, 02/08/17.

Senin, 28 Agustus 2017

Sepakbola dan Nasionalisme Warga

Siapa yang tidak menyukai menonton pertandingan sepakbola, apalagi jika pertandingan itu melibatkan dua tim yang mereprestansikan dua bangsa yang berbeda? Saya yakin semua orang akan meluangkan waktunya untuk olahraga yang satu ini - entah di kantor, di rumah, di ruang kelas secara sembunyi-sembunyi melalui aplikasi TV online atau YouTube di ponsel Android atau iOS, atau juga saat bepergian dengan pesawat udara maupun kapal, seperti yang terjadi malam tadi, Sabtu 26 Agustus 2017 di atas KM. Kelud, kapal berbendera Pelni itu. Saat tim Indonesia berhadapan dengan tim Malaysia memperebutkan tiket masuk ke babak final dalam ajang SEA GAMES 2017 yang tengah berlangsung di Kuala Lumpur, saya mengamati keseriusan semua penumpang lintas generasi dan gender menaruh pandangan yang tajam pada laga aksi tim berbaju merah yang sudah tentu adalah tim nasional Indonesia. 


Ini kelihatan sebagai fenomena biasa-biasa saja, sebagaimana biasanya pertandingan-pertandingan sepakbola lain yang menarik perhatian publik, terutama pecinta sepakbola yang kebanyakan adalah laki-laki. Tetapi, malam itu saya merefleksikan sesuatu yang lebih dari sekedar kebiasaan yang justru menyiratkan optimisme berbangsa yang kuat di tengah kelemahan agama dan ideologi budaya memperkuat kohesi-kohesi kebangsaan yang kian hari kian retak, ditandai dengan menguatnya provokasi dan konflik SARA - baik verbal, simbolik, maupun anarkis - serta diskriminasi yang sistemik terhadap warga negara yang secara demografis tidak memiliki kuantitas yang sebanding dengan kelompok agama atau kepercayaan, etnis, dan gender yang dominan. 


Di tengah pertandingan malam itu, yang serta merta melahirkan keheningan dengan tatapan mata yang tajam pada layar kaca, sembari sesekali histeria dengan teriakan "gol...gol..." ketika Tim Merah menguasai bola dan mencoba menjebol pertahanan tim Negeri Jiran, saya yang tadinya ikut menikmati kemudian memilih diam dan menikmati tontonan nasionalisme yang dipertunjukkan oleh para penonton -  yakni warga bangsa Indonesia yang multikultural itu. Di depan layar SCTV yang salurannya ditangkap oleh satelit kapal yang sedang mengarungi Laut Sumatera, ada orang Jawa, Melayu, Batak, Ambon, dan entah orang dengan suku mana lagi; ada orang dengan latar agama Kristen, juga Islam, dan entah agama apa lagi; Ada laki-laki, juga perempuan. Semua melebur dan menyatu di bawah kekuatan Sepak Bola. 


Lantas, apakah sepakbola memiliki kekuatan supranatural untuk "mendudukkan" semua yang berbeda pada satu kesempatan dan tempat yang sama? Di sinilah catatan pinggiran ini menemukan intinya.


Saya memulai dengan afirmasi, bahwa benar sepakbola memiliki kekuatan luar biasa, masif, otentik, dan serempak untuk menyokong nasionalisme warga bangsa. Afirmasi ini setidaknya didasarkan pada pengalaman pribadi saat menyaksikan laga tanding Indonesia melawan Filipina dengan cetakkan skor 3-0, sebuah prestasi sekaligus kado bagi bangsa yang sedang merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2017 yang lalu. Menyaksikan gawang lawan dijebol bola Tim Merah selalu melahirkan rasa bangga dan haru tersendiri terhadap tanah air, dan ini terjadi secara spontan, tanpa ada rekayasa rasa, sebagaimana diupayakan oleh ideologi dan diskursus dengan bungkusan nasionalisme. Siapa mampu membendung tetesan air mata saat Indonesia Raya berkumandang dan Merah Putih berkibar di negeri orang sebagai simbol kehebatan dan kehormatan bangsa? 


Pikiran saya sebenarnya sederhana saja: saat agama-agama dan ideologi-ideologi kultural gagal meningkatkan rasa kebangsaan yang otentik, Sepak Bola justeru hadir seolah sebagai kekuatan supra-natural dengan peran  subtitutif yang menawarkan sebuah pilihan tunggal: nasionalisme! Dalam konteks inilah, saya memahami sepakbola lebih dari sekedar sebuah olahraga apalagi pertandingan, tetapi merupakan momentum dimana nasionalisme di(re)konstruksi dan ditopang kembali. 


Dalam konteks konflik Maluku yang dipolitisir atas nama sosio-keagamaan beberapa waktu lalu, sepakbola digagas oleh seorang pemuda bernama Sani Taniwella di Tulehu, salah satu kampung di Ambon yang sekarang dijuluki sebagai "Kampung Bola" di Indonesia atas sumbangannya bagi persepakbolaan Indonesia. Laga tanding yang melibatkan remaja lintas iman kala itu mampu menciptakan sebuah ruang publik yang cair dari kebekuan konflik. Narasi tentang sepakbola inilah yang akhirnya diaudiovisualisasikan ke dalam bentuk film yang diberi judul "Cahaya Dari Timur" yang beberapa waktu mewarnai layar lebar perfilman. 


Lebih jauh, kekuatan sepakbola menelanjangi nasionalisme semu yang hadir dalam slogan-slogan yang jauh dari afeksi humanis, yakni nasionalisme yang penuh "keseolah-olahan" atau "pengandaian". Nasionalisme yang muncul di ruang-ruang publik serta dalam moment-moment yang tampaknya biasa saja inilah, yang justeru lebih menarik untuk disimak, ketimbang diskursus nasionalisme yang seolah-olah menjadi motif murni percakapan di level institusi negara yang kerapkali menjadikannya hanya sekedar adagium tanpa bentuk. Sebaliknya, apa yang tengah saya amati itu, setidaknya dalam keyakinan saya, adalah nasionalisme dengan bentuk yang riil. Dengan begitu, sesungguhnya "duduk bersama" dengan "rasa yang sama" sebagai warga bangsa yang sama - tanpa batasan identitas primordialitik - yang menikmati sepakbola adalah nasionalisme sejati. 


Tak terasa, di babak kedua pertandingan malam tadi, pada menit ke-90 pertandingan itu harus berakhir dengan kenyataan bahwa Tim Garuda harus pulang dengan besar hati sebagai Yang Kalah. Heninglah sudah dan bungkamlah suara para perempuan dan laki-laki bangsa yang tadinya sangat histeris itu. Ada kesedihan dan kekecewaan di raut wajah mereka. Saya bisa menangkapnya dengan jelas. 


Tetapi, justeru kesedihan dan kekecewaan inilah yang saya nikmati, tanpa berarti bahwa saya tidak merasakan hal yang sama. Raut wajah yang sedih dan kecewa ini, saya anggap sebagai ekspresi lain nasionalisme warga yang penuh afeksi, spontanitas, dan otentik itu. 


Artinya, kekalahan Indonesia pada ajang SEA Games 2017 ini telah membisikkan pesan bahwa kecintaan berbangsa dan bertanah air masih kuat tumbuh, baik dalam perayaan prestasi maupun kenyataan pahit sebagai bangsa yang akan terus belajar dan menjadi hebat. Dengan begitu, kekalahan dalam persepakbolaan pun bisa dianggap sebagai kemenangan nasionalisme yang otentik tadi. 


'Bak Kapal Kelud yang sedang menyambung Tanjung Priok dan Batam di tengah deru gelombang, tetapi terus maju menembusi utara nusantara, Indonesia akan terus bangkit nan Jaya! 


Di Tengah Laut Sumatera, 27 Agustus 2017.