Total Tayangan Halaman

Sabtu, 18 Agustus 2012

Merayakan “Allah” dan “Kemanusiaan” Dalam Semarak Idul Fitri



Berada di tengah komunitas Muslim dan hidup berbaur dengan mereka tidak sekedar menjadi konsekwensi dari pilihan residensi ketika memutuskan untuk berada di Yogyakarta, melainkan sebuah anugerah untuk belajar secara lebih hidup dan dinamis untuk mengerti bagaimana kehidupan keagamaan yang sebenarnya terjadi di kalangan grass root setelah hampir dua puluh lima tahun hidup dan bertumbuh di tengah komunitas yang homogen secara religius apalagi dalam konteks Maluku era dan pasca konflik yang tersegregasi secara parmanen oleh garis agama. Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya hendak menyampaikan bahwa refleksi ini saya persembahkan kepada seluruh komunitas Muslim di Indonesia, secara khusus di Maluku yang sedang berada dalam suasana perayaan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1433 H.
Beberapa saat yang lalu saya memilih untuk mengelilingi kompleks di sekitar rumah tempat tinggal saya dan beberapa kawasan ramai di Jogja, tidak terkecuali Malioboro. Aktifitas yang terjadi hampir semuanya mirip di setiap kawasan itu, dimana banyak orang yang secara komunal diatur dalam barisan parade untuk menggelar apa yang dikenal dengan nama takbiran sebagai proses yang menandai bahwa puasa telah berakhir dan dimulainya bulan Syahwal. Setiap perempuan dan laki-laki yang terlibat di dalamnya memiliki perannya masing-masing; laki-laki melantunkan lagu Islaminya (Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. la ilaha illa Allah. Allahu akbar, Allahu akbar. Wa li-illahi al-hamd), sedangkan para perempuan menuntun anak-anak dengan ornamen musikal yang dimainkan sehingga membuat bulu kuduk semua orang yang mendengarnya berdiri, termasuk saya, dan saya harus jujur mengatakan bahwa nyanyian-nyanyian itu begitu mempesona dan memiliki potensi untuk membuat orang akan memandangnya penuh kagum. Nyanyian-nyanyian itu semakin lagi menakjubkan ketika diiringi dengan suara Adzan dari Masjid yang mengumandangkan secara terus-menerus kalimat syahadat asyhadu an-laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah”.  Proses ini menjadi puncak dari rangkaian sholat Tawarih yang dilakukan selama bulan puasa. Saya kemudian mencoba membangun makna dari apa yang terjadi dan kemudian tiba pada interpretasi personal berdasarkan keterbatasan pemahaman tentang Islam dandialog yang hidup bersama mereka. Memproklamirkan kapasitas Allah menjadi sesuatu yang sangat esensial dari peristiwa ini, tetapi yang kemudian harus mengarah pada pengalaman riil kemanusiaan. Disini titik berangkat saya untuk memahami semarak Idul Fitri yang sadar ataupun tidak sedang digaungkan.
Oleh karena setiap aktifitas yang terjadi dalam arak-arakan perayaan Idul Fitri tidak lain (jika tidak, mungkin salah satunya) ialah mengumandangkan identitas dan eksistensi Allah, maka saya mencoba memahami persitiwa sakral ini dari perspektif ini.  Tindakan pengungkapan identitas dan kapasitas keilahian Allah yang tunggal sekali lagi memberi impresi kuat bahwa Idul Fitri sebagai puncak dari selebrasi Ramadhan harus menempatkan Allah sebagai sentral (teosentris). Tindakan ini sepenuhnya menuntut setiap orang yang terlibat di dalamnya untuk mengakui eksistensi ini, dan pengakuan seperti itu harus dilakukan dengan sepenuh hati dan jiwa. Saya rasa, dalam perspektif kekristenan ada kesamaan yang absolut dari konfesi syahadat ini dengan tradisi taurat dalam Perjanjian Lama yang menghendaki komunitas Israel sebagai representasi dari komunitas iman untuk tetap konsisten dengan Allah ketika ditegaskan “jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku” (Ulangan 5:7).  Bahkan juga dalam tradisi Perjanjian Baru dapat dijumpai upaya Yesus untuk kembali menguatkan asumsi ini ketika mengajar dan mengajak pendengarnya untuk mengasihi Allah dengan segenap potensi kemanusiaan yang dimiliki (Matius 22:36).
Banyak orang dari kalangan fundamental baik Islam ataupun Kristen seringkali menggunakan teks-teks yang senada untuk menjustifikasi gagasan bahwa Allah komunitas Islam berbeda dengan Allah yang diyakini oleh orang Kristen, sehingga ini awal dari dosa sejarah yang panjang dalam perjumpaan dua agama Abrahamik ini. Yang benar-benar terjadi ialah apa yang diyakini oleh Islam melalui syahadat ini adalah kebenaran mutlak adanya, dan keyakinan kekristenan mengenai identitas keilahian juga pada dasarnya merupakan kebenaran yang tidak dapat terbantahkan. Keduanya sama-sama meyakini Allah dalam identitas ketunggalanNya tetapi dengan bertolak dari pengalaman menjumpai yang berbeda dimana yang dari padanya juga muncul berbagai keragaman refleksi  dan teologi. Jika posisi ini dibalik dalam batasan argumentasi eksklusif mengenai eksklusifisme Allah yang hanya untuk suatu golongan tertentu, maka menurut saya ini cara yang kita tempuh untuk membatasi luasnya jangkauan interventif Allah yang bekerja dalam sejarah kemanusiaan yang terkotak-kotak karena pengalaman, ruang, dan waktu. Pengingkaran bermotif eksklusifisme ini sebetulnya juga melahirkan makna kontras bahwa Allah yang diyakini tidak sepenuhnya otoritatif dan tunggal sebab disamping eksistensiNya ada juga allah-allah lain dalam frame agama-agama tertentu. Yang hendak saya katakan disini ialah bahwa kecendrungan menganggap agama sendiri benar dan yang lainnya tidak sekaligus menekankan bahwa Allah hanya menjadi Allah atas sejumlah manusia tertentu, tetapi jika mengakui peran kreasionis Allah sebagai yang bertanggungjawab atas penciptaan manusia dan alam maka kita akan mengakui bahwa Allah yang satu-satunya itu juga menjadi satu-satunya Allah bagi suatu komunitas berkeyakinan lain. Saya merasa sangat berterima kasih kepada para ilmuwan Muslim yang pada Oktober 2007 turut memperkuat asumsi ketunggalan Allah dalam kekristenan dan Islam dan menjadikannya sebagai common ground bagi perjumpaan keduanya, tetapi sekaligus pada sisi yang lain tetap mempertahankan keunikan masing-masing tradisi sebagai kekayaan.
Kembali pada esensi rangkaian proses menyambut Idul Fitri di atas, saya melihat bahwa dengan mengumandangkan posisi sentral Allah aktifitas ini sekaligus menjadi kritik terhadap kekuatan-kekuatan anti kehidupan yang berupaya untuk mengendalikan totalitas kehidupan manusia dan memposisikan diri seolah-olah sebagai ‘Allah’. Proklamasi ketunggalan Allah sekaligus menjadi kritik terhadap kekuatan koruptor dan para elit politik bangsa ini yang tidak adil yakni yang harus bertanggung jawab atas penderitaan dan kemiskinan yang merajalela, sebab tindakan korupsi sebetulnya juga merupakan tindakan untuk mengambil peran sebagai ‘alah-alah’ kecil bagi rakyat kecil yang menderita. Perayaan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1433 H yang dilakukan selepas peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hendaknya dimaknai sebagai kado ulang tahun bagi bangsa ini. Dimana di dalamnya kekuatan religius yang terwakili oleh Islam mengungkapkan bahwa kemerdekaan yang sejati belum ter-manifest dalam kehidupan keindonesiaan, sebab kekuatan-kekuatan kolonialisme kontemporer masih begitu menguat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi, kemiskinan, penderitaan, kekerasan, terorisme dan pelanggaran HAM, serta pembatasan kebebasan beragama adalah wajah dari perbudakan yang diciptakan oleh manusia-manusia yang hendak menjadi allah. Oleh karena ini, gerakan kemerdekaan sejati harus dilandaskan dan dimulai dengan mengakui bahwa hanya ada satu kekuatan yang sejati dan itulah kekuatan keadilan dan keadilan itu sendiri memiliki akar yang tidak dapat dicabut dari Allah.
Dengan ini saya pikir bahwa dimensi teologis dari perayaan Idul Fitri akan mengarah dan bermuara pada dimensi humanitas. Merayakan Allah melalui peristiwa ini sebetulnya juga adalah merayakan kemanusiaan, dan dengan demikian proklamasi keallahan ialah juga proklamasi kemanusiaan. Salah satu hal penting dalam merayakan bulan puasa ialah tradisi infaq dimana kesadaran sosial menjadi sangat penting. Dalam tulisannya yang membahas tentang pergeseran perilaku Ramadhan pada koran Kompas edisi 13 Agustus lalu, Ali Mustafa Yaqub mengungkapkan bahwa salah satu perilaku nabi Muhammad SAW yang sangat menonjol selama bulan Ramadhan adalah sikap kedermaannya yang sangat tinggi. Sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas menuturkan bahwa apabila datang bulan Ramadhan, nabi sangat dermawan ibarat angin yang kencang. Hal ini berarti bahwa sang Nabi menempatkan ‘solidaritas sosial’ sebagai hal yang juga sama pentingnya dengan proklamasi ketunggalan Allah, oleh karena itu semarak Ramadhan ialah semarak perjuangan nilai-nilai kemanusiaan. Saya rasa ini point yang paling menyentuh totalitas kehidupan manusia sehingga menjadikan Idul Fitri berjasa bagi kemanusiaan melintasi batas-batas sosial yang dikonstruksikan.
Saya hendak menutup tulisan ini dengan mengatakan bahwa dalam konteks keindonesiaan, bukan hanya Allah dalam eksistensiNya yang sedang terancam, tetapi juga kemanusiaan orang-orang Indonesia sedang tercabik-cabik. Perayaan Idul Fitri menuntut bukan hanya komunitas penganut Islam untuk berjuang bagi keadilan dan perdamaian manusia dan semesta Indonesia, melainkan semua orang yang menjadi bagian dari bangsa ini.

Selamat Merayakan Semarak Idul Fitri I Syawal 1433 H.
Kampung Klitren, Yogyakarta.

3 komentar:

  1. Tulisan ini merupakan salah satu refleksi yang membawa kita masuk lebih dalam kepada makna sebuah perayaan. Dalam perenungan yang sangat terbatas, saya juga yakin bahwa di sisi lainnya, dalam sebuah perayaan bukan hanya manusia yang merayakan "Allah" dan "kemanusiaan"; tetapi juga Allah sendirilah yang turut merayakan "manusia" dan "kemanusiaan manusia" yang oleh karena kasih dan rahmat-Nya yang tak terbatas telah menganugerahkan kehidupan yang lebih bermakna kepada manusia itu sendiri. Karena itu, makna sebuah perayaan selain merayakan "Allah" dan "kemanusiaan", juga bermakna merayakan "manusia" dan "kemanusiaannya" oleh Allah. Ini hanya sekadar refleksi terbatas saya terhadap tulisan menarik yang telah disuguhkan saudara Nelson sebagai salah satu "menu rohani" bagi kita dalam semarak Idul Fitri kali ini. Kiranya tulisan ini menjadi "gizi tambahan" bagi kita dalam menjalani kehidupan bersama sebagai Indonesia. Salam buat kita semua.
    NB: "sholat Tawarih", mungkin seharusnya "sholat Tarawih" (sekadar ralatan redaksional).

    BalasHapus
  2. Saya sangat mengapresiasi Bang Firman yang sudah membaca tulisan ini. Saya rasa apa yang bang sampaikan sangat menarik sekali mengenai Allah yang juga merayakan kemanusiaan. Mungkin artikel ini akan lebih 'sedikit menarik' lagi jika perspektif yang diutarakan bang menjadi idea yang juga disoroti dengan berlandas pada gagasan bahwa identitas kedirian Allah hanya dapat dimaknai dalam frame kemanusiaan, dan disinilah proses dialektis terjadi antara keduanya. Terima kasih juga untuk koreksi teknisnya akibat kesalahan pengetikan. Wassalam!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trimakasih banyak Nelson! Saya sangat mengapresiasi tulisanmu ini minimal krn 2(dua) hal: pertama, karena tulisan ini memang sarat dgn makna teologis-humanitas dan perenungan mendalam ttg bgm kita seharusnya memaknai kedirian kita dlm sebuah perayaan; dan kedua, di antara seluruh peserta Kuliah Alih Tahun (KAT) Persetia thn 2012 barusan di Ambon, setahu saya hanya saudara Nelsonlah satu-satunya yang mungkin ingat dan memberi waktunya sedikit di tengah-tengah kesibukan studi dan pelayanan untuk menuliskan sebuah refleksi menawan dlm perayaan Idul Fitri kali ini. Selamat berkarya, Tuhan memberkati. Salam buat kita semua.

      Hapus