Total Tayangan Halaman

Sabtu, 02 September 2017

"Pusuk Buhit": Situs Sakral?

Weekend kali ini saya diajak seorang teman untuk bergabung bersama dalam kunjungan kemahasiswaan ke Pulau Samosir. Mengingat banyak yang mungkin belum tahu dimana pulau ini berada, maka saya perlu memberi informasi histo-geografis mengenainya. 


Samosir adalah sebuah pulau ajaib yang terletak di tengah-tengah Danau Toba, danau terbesar atau terluas di Indonesia, dan bahkan dianggap sebagai salah satu yang terbesar di dunia. Danau ini terbentuk akibat aktivitas ledakan tekto-vulkanik sekitar k.l. 75.000 tahun yang lalu. Cukup tua bukan? Ya memang tua, bahkan lebih tua dari sejarah peradaban Kekristenan. Di tengah-tengah pulau inilah terletak Pulau Samosir, yang luasnya bisa dipersandingkan dengan Pulau Ambon. 


Pulau ini terkenal dengan julukan "Negeri Indah Kepingan Surga". Julukan ini tentu memiliki motif turistik dengan tujuan menggaet para turis yang penasaran dengan pesona alam, histori, serta budaya yang masih kuat dipelihara. Berdasar pada pengalaman beberapa kali mengunjungi pulau ini, saya pikir bahwa julukan ini tidaklah berlebihan. Pesona alam yang diwarnai biru Danau Toba, lekukan bukit dan gunung hijau, hamparan Sawah yang menguning, dan langit yang membiru adalah cukup untuk kesan keindahannya. Dari aspek histori dan budaya, Samosir adalah pulau yang menyimpan banyak cerita tentang leluhur etnis Batak serta praksis budaya yang terasa masih kuat dipegang dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain yang didiami kelompok etnis ini. Setidaknya itu kesan saya saat berada di pulau tengah danau ini. 


Well, dalam perjalanan ke Pulau Samosir jalanan melingkar ditempuh oleh rombongan kami dengan maksud untuk mampir, menyaksikan, dan belajar dari beberapa situs sejarah dan budaya Batak. Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Pusuk Buhit yang secara geografis masih berada di pulau induk, Pulau Sumatera. Ziarah ke tempat inilah yang melatari catatan reflektif saya ini.


Bagi masyarakat Batak, Pusuk Buhit adalah situs yang dianggap memiliki nilai sejarah, kosmologis, dan mitologis tertentu. Istilah ini berasal dari bahasa Batak Toba yang bisa diterjemahkan "Pusat atau Inti Bukit" (Pusuk: Pusat dan Buhit: bukit). Keintian bukit ini sangat terkait erat dengan keyakinan kosmologis atau mitologis yang dikonstruksi dan direnarasikan dari generasi ke generasi. 


Dalam kepercayaan lokal masyarakat Batak, Pusuk Buhit adalah tempat dimana Debata Mula Jadi Nabolon untuk pertama kalinya menurunkan "agennya" yang kemudian dikenal sebagai raja pertama bangsa Batak. Debata Mula Jadi Nabolon adalah dewa tertinggi yang mendiami dunia atas. Dalam kosmologi Batak kuno, sebagaimana dipegang teguh oleh penganut Parmalim (religi Batak), dunia dibagi dalam tiga strata, yakni dunia atas yang didiami oleh Debata, dunia tengah oleh manusia dan luhur, dan dunia bawah oleh kuasa kegelapan. Untuk menjangkau dunia bukan atas, maka  Debata "mengimanensi" dirinya melalui wujud raja. Peristiwa imanensi ini terjadi di atas Pusuk Buhit. Inilah yang melatari penyifatan "keramat" atau "sakral" pada bukit ini. Oleh karena itu, Pusuk Buhit adalah simbol sakralitas kebatakan.


Dalam perkembangan kemudian, yakni pada saat kekristenan memasuki Tanah Batak, keyakinan mitologis ini kemudian dipertanyakan. Hal ini tentu dipahami karena kekristenan yang diperkenalkan di seantero Nusantara, termasuk di tanah Batak, adalah kekristenan Barat yang sangat alergis bahkan konfrontatif terhadap praksis religi dan budaya lokal. Ini terjadi dimana-mana seperti juga di Ambon, ketika bahasa Tana yang merupakan bahasa asli pun difatwakan sebagai sesuatu yang kafir. Tidak heran mengapa orang Kristen Ambon tidak punya bahasa daerah sama seperti orang-orang Islam yang resisten terhadap kolonialisme Belanda kala itu. Sebagai warisan "agama kolonial", sikap skeptis kekristenan Batak terhadap kosmologi dan ritus lokal ternyata masih berlanjut hingga saat ini. Bahkan, sakralitas situs ini terus dipertanyakan. 


Nah, inilah pertanyaan yang coba saya refleksikan sesaat setelah mengunjungi tempat tsb. Terlepas dari benar-tidak, historis atau ahistoris, dan fakta atau mitos narasi yang dibangun tentang Pusuk Buhit, saya punya kesan tersendiri mengenai dimensi sakral situs itu. Saya mencoba mengargumentasikan sakralitas Pusuk Buhit dalam tiga point.


Pertama, sakralitas arena. Saat berkunjung ke bukit ini siang tadi saya menyaksikan sebuah praktek ritus pemanggilan leluhur yang pengejawantahannya adalah peristiwa "kerasukan arwah leluhur". Peserta ritus adalah anggota-anggota dari satu klan yang nampaknya sedang diperhadapkan dengan sebuah persoalan familial. Persoalan ini dituturkan lalu dimediasi oleh seorang "amang" (bapak) yang sepertinya bertanggungjawab sebagai tua adat. Ia adalah seorang yang menganut religi Parmalim. Di dalam tubuh tua adat inilah, leluhur keluarga hadir dan berbicara. Yang menarik bagi saya bukanlah peristiwa hadirnya leluhur (yang benar atau tidaknya tak bisa saya pastikan), melainkan peserta ritus yang didominasi oleh para perempuan berhijab. Hijab inilah yang menjelaskan kepada saya bahwa peserta ritus adalah non-Parmalim, juga non-Kristen, melainkan beragama Islam. Dari percakapan lanjut diketahuilah bahwa klan ini berasal dari Sibolga, Tapanuli Tengah. Seorang teman menuturkan bahwa ada juga orang-orang Kristen yang melaksanakan ritus serupa di situ. Dengan demikian, saya dapat menduga bahwa "arena" ini menjadi tempat sakral bukan hanya kepada orang-orang Parmalim, tetapi juga orang-orang Kristen dan Islam yang hadir di sana. Sekali lagi, lepas dari usaha untuk membenar-tidakan praksis ini dan ataupun usaha menamainya sinkretisme atau bukan, arena ini adalah "simbol kebersatuan" orang Batak, apapun latar belakang religiositasnya. Arena "pusuk" ini menjadi sebuah panggung dimana orang-orang Batak berkumpul, beragama atau tidak, seagama atau bukan. Di tengah-tengah ancaman segregasi religius yang semakin menguat, "arena dan tradisi kosmologis" justeru dapat menjadi 'public sphere' yang mempertemukan orang-orang yang berkepercayaan beragam. Di sinilah letak sakralitas Pusuk Buhit. 


Kedua, sakralitas ekologis. Teman saya -Roy Charly Sipahutarr - membantu saya memahami sakralitas yang kedua ini. Dengan dipeliharanya narasi tentang dimensi mistik tempat ini, maka masyarakat pun tidak akan semena-mena dalam memperlakukan alam sekitar areal ini. Kesadaran yang dikonstruksi masyarakat adalah bahwa akan terjadi ketidakseimbangan kosmos jika areal sakral ini dicemari. Oleh karena itulah, tindak eksploitatif terhadap alam sekitar pun jarang terjadi karena orang menganggapnya sebagai wilayah non-profan dan takut terhadap dampak yang muncul. Nah, hal ini memang bisa diperdebatkan oleh ekoteologi Kristen yang mengharuskan alam diperlakukan dengan adil karena kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang juga memiliki nilai diri, sama seperti manusia. Saya bisa memahami hal demikian. Tetapi, kosmologi yang dibangun oleh masyarakat ini tidak dapat disangkal memiliki dampak ekologis yang positif. Oleh karenanya, bisa dibenarkan bahwa kosmologi dan atau mitologi memiliki fungsi untuk menjaga kosmos tetap berada dalam gerak yang seimbang. 


Ketiga, sakralitas relasi. Di atas bukit ini ditemukan salah satu patung yang dipercaya adalah Nyi Roro Kidul, ratu pantai selatan Jawa. Pelaku budaya percaya bahwa ia adalah puteri sang raja yang hilang dikemudian hari. Penjelasan teman lagi-lagi menolong saya untuk memahami motif konstruksi mitos yang demikian, yakni sebagai sebuah upaya mitologis untuk membangun ruang relasi dengan komunitas etnis di luar garis kebatakan, terutama Jawa.  Jika di atas Pusuk Buhit ini terdapat usaha untuk membangun relasi dengan kelompok etnis lain, maka saya menganggapnya sebagai bentuk sakralitas yang lain. Bukankah membangun relasi antar sesama manusia adalah sebuah ibadah? Jika itu disebut ibadah, maka bukankah itu sakral?


Danau Toba, 02/08/17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar