Total Tayangan Halaman

Jumat, 15 Oktober 2010

Menyikapi Spekulasi Mitos: “Anak Kunci Israel yang hilang di Indonesia” Buku karangan Rabbi Avner Sahertian

Saat ini masyarakat Indonesia (baca: Maluku) dihebohkan dengan salah satu buku terlaris versi Gramedia yang nampaknya berupaya memperkokoh mitos eksisnya sisa-sisa suku Gad (salah satu dari dua belas suku Israel) di Indonesia. Buah tangan Rabbi Avner Sahertian ini mengulas tentang keberadaan suku Gad yang diidentifikasi dalam hubungan dengan keberadaan suatu komunitas masyarakat asli di Maluku, yang disebut “Alifuru”. Pertanyaan kunci yang diajukan, sekaligus diberi jawaban oleh sang penulis, ialah benarkan suku Gad yang hilang selama berabad-abad bahkan bermilenium itu ada Indonesia? Benarkah suku Alifuru merupakan suatu suku Israel yang hilang, yakni Gad, yang ia sendiri (bahkan orang lain) belum menyadari originilitas identitasnya itu? Nampaknya ada tendensi justifikasi terhadap asumsi ini.

Asumsi seperti ini sebenarnya sudah lama beredar di kalangan masyarakat Maluku sendiri sekalipun tidak pernah ada kepastian kebenarannya. Oleh karena itu, upaya penggagasan itu hanya merupakan bentuk pembingkaian dan pengokohan atas apa yang pernah ada, yakni suatu cara penulis untuk membenarkan cerita-cerita tersebut, dengan jalan menuangkannya dalam suatu catatan konseptual yang semula sifatnya lisan.

Menurut saya, setiap orang punya kebebasan berasumsi sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang di Republik ini. Saya tidak memberi kesimpulan final atas “benar-tidaknya asumsi ini”, namun disini saya ingin mencoba memahaminya dengan mempertanyakan kembali validitas asumsi sang pengarang bertolak dari perspektif saya. Bagi saya pengkajian terhadap isu ini menjadi sangat penting, karena sadar atau tidak sadar, secara langsung maupun tidak, asumsi ini akhirnya akan sangat mempengaruhi sensitifitas komunitas asli Maluku yang diidentifikasi sebagai suku Gad itu, dan sebagai implikasinya bukan tidak mungkin jika pola relasi yang terbangun selama ini akan sedikit berpengaruh, apalagi jika sudah dihubungkan dengan label ‘religiusitas’ mereka dalam konteks Maluku sebagai suatu wilayah pasca-konflik yang sedang terus bergulat dengan misi rekonsiliasi dan transformasi konflik demi terwujudnya perdamaian dan keadilan sejati. Dalam tataran inilah, asumsi ini berpotensi menimbulkan kecendrungan triumfalistik tersendiri yang akan menjadi “bumerang” bagi apa yang disebut Pluralisme baik dalam konteks lokal maupun nasional. Pluralisme disini bukan hanya sekedar pluralisme etnositas (suku), tapi juga religiusitas (keagamaan), dan mungkin saja nasionalitas (kebangsaan) yang bisa diwarnai dengan berbagai ketegangan (konflik), baik ketegangan simbolik maupun ketegangan fisik.

Beberapa pokok pikiran Avner yang perlu disoroti untuk dipertanyakan kembali ialah sebagai berikut:

a. Penduduk Maluku yang sekarang ini ada awalnya ialah pendatang di negeri seribu raja-raja ini. Intinya ialah mereka bukan penduduk asli negeri ini. Ada banyak sekali periode dalam sejarah Maluku yang menunjukan masuknya orang-orang asing. Kelompok suku yang pertama kali masuk di Maluku ialah suku Malanesian yang telah eksis sejak tiga millennium yang lalu, dan pada tiga belas abad kemudian diikuti oleh orang-orang Timur Tengah (Arab) karena aktifitas perdagangan tapi juga aktifitas keagamaan yakni membawa misi Islam, ekspansi kolonialisme bangsa Spanyol kurang lebih tujuh ratus tahun lalu, dan terakhir bangsa Belanda yang memerintah selama empat ratus tahun. Aktifitas keluar-masuk Maluku ini pada akhirnya membuat mereka bertahan, menetap, bahkan telah beranak cucu di wilayah ini sekalipun ada sebagian besar mereka yang kembali ke daerahnya. Ini yang membuat Avner tiba pada kesimpulan bahwa penduduk asli Maluku ialah non-pribumi (hal.13-19). Dalam konteks inilah ia kemudian mengidentifikasi kelompok suku Malanesian ini sebagai salah satu suku Israel, yakni Gad, yang telah menghilang dari Israel pada periode waktu yang bersamaan, yaitu seputar tahun-tahun seribuan pra-Masehi.

Penelusuran terhadap asal-usul nenek moyang Maluku dengan memperhadapkan fakta-fakta terkait periode masuknya kelompok suku lain di wilayah ini dapat saja dibenarkan, namun ini tidak serta-merta lalu memberi kita jaminan untuk menentukan bahwa kelompok suku tertua itu ialah suku Gad. Hal ini tidak mudah mengingat ada kesenjangan waktu yang sangat panjang antara periode pertama itu dengan periode saat ini, yang tentunya menuntut kita untuk melakukan suatu penelitian etnologis bahkan juga mungkin arkeologis yang mendalam terhadap kelompok suku Alifuru yang ada. Menurut hemat saya, tibanya kita pada justifikasi asumsi ini sangat bergantung pada penelitian semacam itu, tapi juga pada bukti-bukiti historis, minimal cerita-cerita tertulis atau pun yang beredar secara lisan yang menggambarkan pola kehidupan, karakter komunitas, kebiasaan-kebiasaan, dan praktek-praktek religius kelompok suku Alifuru pra-Masehi itu, atau jika sulit dilakukan minimal dikaitkan dengan suatu kelompok generasi berikutnya yang hidup dalam periode waktu yang relatif lebih dekat dengan nenek moyang mereka itu. Hal ini sangat penting sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat persamaan kelompok suku Maluku itu dengan kelompok suku-suku lainnya di Israel dalam rangka melihat persamaannya dengan suku yang hilang itu. Nah, bagi saya ini yang belum dilakukan sehingga sulit untuk menentukan benar-tidaknya dugaan suku Alifuru sebagai salah satu suku Israel yang terhilang. Kesimpulan belum dapat diambil jika belum adanya suatu penelitian dan pengkajian ilmiah yang mendalam mencakup seluruh aspek historis dan masa kini dari suku asli Maluku, Alifuru.

b. Asumsi Avner ini juga didasarkannya atas persamaan etimologis antara istilah “Alifuru/Alefuru” dengan suatu kata Aram/Ibrani, serta istilah “Maluku” dengan nama seorang dewa Israel kuno yakni “Molukh”.

Pertama, istilah ‘alifuru’ atau ‘alefuru ’berasal dari dua akar kata Aram/Arab yakni alif atau alef yang memiliki arti yang sama yaitu ‘tunggal/satu’, dan uru yang artinya manusia (lih. Hal. 22). Karena bahasa Aram pada abad ke sembilan sebelum masehi ialah bahasa internasional dalam bidang perdagangan dan diplomasi, maka sudah tentu pengaruhnya cukup luas sehingga teradopsi oleh kelompok suku ini dan salah satu katanya dipergunakan untuk menyebut identitas komunitasnya sekalipun telah terbuang jauh dari komunitas induknya, Israel. Dalam konteks ini, penamaan kelompok suku Maluku sebagai alifuru sedikit banyak memberi kesan bahwa kelompok ini punya hubungan dengan daerah dimana akar kata alifuru itu berasal.

Kedua, istilah Maluku berkaitan dengan kata “Molokh” (Milkom), yakni suatu sebutan (nama) bagi seorang dewa sembahan bani Amon yang berada di sekitar perbatasan Yordania dengan tanah Kanaan Israel yang berbatasan langsung dengan suku Gad. Dewa Molukh ini ialah salah satu dewa yang ada di Timur Tengah yang tidak disukai oleh Tuhan Yahweh Israel, sehingga Yahweh Israel mengatakan Molokh adalah dewa yang sangat najis di mataNya dan dianggap juga sebagai dewa kekejian. Dewa ini mudah membuat orang Israel tidak taat pada perintah Tuhan dan dengan mudahnya meninggalkan dan melupakan Yahweh. Bila salah satu suku Israel menyembah dewa Molokh, maka mereka dianggap telah berzinah dan sebagai konsekwensinya mereka akan dilenyapkan (versi Imamat 20). Avner menafsirkannya disini dengan diusir keluar dari tanah Israel, dan kemudian mengembara melintasi daratan India dan tibalah di pulau-pulau pesisir yang akhirnya dinamakan Maluku (yakni nama yang punya kaitan dengan dewa sembahan suku ini). Baginya, salah satu indikasi praktis yang tersisa untuk melihat hal ini ialah kecendrungan mistik orang Maluku (orang Kristen Ambon) yang sangat kuat, yakni bertahannya harapan dan praktek-praktek penyembahan berhala sekalipun mereka sudah menjadi orang Kristen. Pola kehidupan yang cenderung berpaut pada arwah-arwah, yakni berziarah dan berbicara pada orang-orang yang sudah mati sebagaimana pada kebanyakan orang Kristen Ambon, ialah pola hidup suku Gad yang berpaut pada Molokh.

Bagi saya, pokok pikiran pertama di atas kedengarannya sangat berlebihan. Kemiripan istilah itu sifatnya sangat kebetulan, dan tidak ada inter-relasi yang jelas dari keduanya berdasarkan kemiripan itu. Jika pun kedua-duanya punya hubungan, maka ini mesti dapat dibuktikan dengan penelusuran terhadap bahasa asli penduduk Maluku. Jika Avner mengatakan bahwa bahasa Aram merupakan bahasa asli suku Gad dan pada saat itu menjadi bahasa internasional, maka sudah tentu kelompok suku Malanesian yang datang ke Maluku ialah penutur bahasa Aram, dan sebagai penutur bahasa Aram maka komunikasi verbal antar-individu terjadi dalam bahasa ini, sehingga terjadi pembudayaan bahasa Aram di wilayah yang dinamakan Maluku ini. Namun, penelitian yang dilakukan oleh James T. Collins menunjukan bahwa bahasa asli penduduk Maluku ialah bahasa Tana. Bahasa semacam ini memang tidak digunakan dalam komunikasi verbal masyarakat saat ini lagi, dan sepertinya sedang berada pada tahap kepunahan. Sekalipun demikian, bahasa Tana tetap digunakan dalam moment-moment tertentu oleh pelaku adat, dukun, dan “orang pake-pake”. Sebagai bagian dari masyarakat adat, saya pun pernah merekam komunikasi para pelaku adat di negeri adat Waai yang menggunakannya dalam moment-moment adat. Ini mengindikasikan bahwa masih ada bukti yang menunjukan adanya bahasa Tana sekalipun telah hampir punah. Sebaliknya juga, jika bahasa Aram ialah bahasa asli penduduk Malanesian yang datang ke Maluku (baca; Alifuru), maka sedikitnya akan terus tersisa bagi generasi berikutnya. E.B. Taylor mengemukakan bahwa bahasa ialah salah satu bentuk kebudayaan manusia, dan sebagai suatu kebudayaan saya pikir akan sangat sulit untuk punah secara total. Dalam kaitan ini, saya ingin mempertanyakan bahwa pernahkah dalam suatu periode sejarah masyarakat Maluku bahasa Aram menjadi suatu alat komunikasi sosial? Tidak pernah ada fakta yang membuktikannya.

Kasus utama dari pokok pikiran kedua ini nampaknya mirip dengan yang pertama, dimana kemiripan homonim kata “Maluku” dengan “Malokh” dijadikan indikasi asumsi ini. Saya tidak menaruh perhatian ulang pada aspek ini, namun disini saya mencoba memahami realitas masyarakat Maluku (orang Kristen Ambon) yang katanya punya kecendrungan penyembahan berhala. Saya memang membenarkan hal ini, tapi penyembahan berhala macam mana yang dimaksudkan disini. Saya memahami penyembahan berhala disini dalam kaitan dengan pemujaan leluhur. Memang Avner mengidentifikasi pemujaan leluhur (atau orang-orang mati) sebagai bentuk penyembahan kepada Molokh, namun ia tidak mengemukakan fakta-fakta secara rinci mengenai relevansi bentuk dan praktek kedua penyembahan itu. Saya kira justru kontras ketika ia mengatakan bahwa semangat penyembahan kepada Molokh sama dan nampak dalam pemujaan akan leluhur. Bagi saya keduanya merupakan fenomena yang berbeda. Nah, perbedaan itulah yang tidak mungkin mengidentifikasi keduanya identik.

Praktek pemujaan akan leluhur tidak dapat digeneralisir sebagai bentuk penyembahan akan Molokh. Hal ini karena praktek-praktek mistik seperti ini umumnya terjadi di kalangan suatu komunitas pra-agama, dan karena itu sedikit banyak akan tersisa bagi generasi berikutnya. Orang Kristen Ambon awalnya ialah penganut agama suku (yang munculnya dalam bentuk adat). Ini yang membuat semangat mistik itu tetap tersisa bagi masyarakat ini. Ini yang pernah ditegaskan oleh Colley setelah melakukan suatu penelitian bahwa pergulatan antara Injil (Agama) dan Adat terus tersisa, bahkan agama dilihat sebagai suatu kabuflase yang sebetulnya menutupi adat. Tapi sekali lagi, fenomena ini tidak dapat menjadi tolak ukur untuk mengidentifikasi hal ini, karena praktek-praktek serupa umumnya terjadi bagi komunitas pra-Agama.

Saya kira pengutipan Avner akan ayat-ayat kitab Imamat di atas mesti juga didasarkan atas investigasi biblis terhadap teks-teks itu dan teks-teks ini tidak dapat dipahami secara harafiah. Disinilah hermenutika diperlukan. Saya belum melihat adanya upaya hermeneutis terhadap intisari teks itu, sehingga pengutipan-pengutipan itu kurang cukup beralasan.

c. Indikasi lain yang dipakai oleh Avner untuk mendasari asumsinya ialah fenomena penggunaan ikon-ikon Israel (nama, simbol, bendera, dll yang berkaitan dengan Israel) oleh orang-orang Kristen Ambon sejak konflik terjadi sebagai bentuk kemunculan identitas secara supranatural. Identitas sebagai suku yang terhilang itu mulai nampak ketika konflik di Maluku terjadi. Bahkan, ditambahkan bahwa kemunculan identitas itu terjadi secara supranatural (ada intervensi Yang Transenden), dan bukan secara kebetulan karena mereka beragama Kristen. Kemunculan identitas ini terus terjadi hingga saat ini.

Penggunaan simbol-simbol semacam itu sebetulnya sudah ada sejak lama, misalnya saja Salib. Memang ia baru akan mencuat ketika konflik di Maluku terjadi. Bagi saya penggunaan ikon-ikon itu dipengaruhi oleh semangat beragama yang sifatnya situasional, artinya bahwa ini dapat dipahami dalam kaitan dengan konteks Maluku era konflik. Dalam konteks ketegangan dua komunitas agama yang berbeda, suatu komunitas tertentu bisa saja menggunakan simbol-simbol itu sebagai representasi komunitasnya tanpa ia sendiri memahami arti dan makna simbol itu. Hal semacam ini juga terjadi di kalangan komunitas muslim, misalnya dengan menyebut kelompoknya sebagai ‘taliban’, dengan menggunakan bendera Afghansitan atau Arab sebagai simbol komunitasnya yang beragama muslim. Yang penting disini ialah mereka dapat menyimbolkan komunitas mereka.

Penggunaan ikon-ikon seperti ini (baik dalam era konflik ataupun pasca-konflik) sudah tentu berujung pada fanatisme agama yang sempit. Hal ini sedikit banyak akan mempengaruhi cara beragama seseorang, sehingga segala sesuatu yang sifatnya simbolik telah dikultuskan. Oleh sebab itu, jika terjadi pelecehan terhadap simbol-simbol Israel maka itu diklaim sebagai pelecehan terhadap kekristenan. Disinilah fanatisme itu dapat mewujud dalam konflik.

Persoalan lain ialah ketika ia melihat penggunaan ikon-ikon itu dalam hubungan dengan Allah, yakni sebagai gerakan Roh (Hal.28). Benarkah bahwa penggunaan ikon-ikon itu sekalipun pada akhirnya membawa kita pada fanatisme beragama tidak terlepas dari peranan Allah? Apa memang Allah menghendaki terjadinya perpecahan di antara manusia jika simbol-simbol Israel dilecehkan? Saya tidak berani membenarkannya.

Ada aspek-aspek lainnya dari pemikiran pengarang buku “Anak Kunci Israel yang hilang di Indonesia” yang nampaknya perlu dikaji ulang. Saya hanya membatasi pandangan saya pada hal-hal di atas. Tentunya, gagasan-gagasan saya masih harus terus diperkuat. Saya berharap ada orang yang dapat mengkaji fenomena “mitos” ini secara ilmiah supaya setiap orang tidak lagi ada dalam kebingungan. Hal ini penting sebab sekalipun sifatnya masih cuman “mitos”, tapi berpotensi mempengaruhi cara beragama orang Kristen Ambon.

Salam !

7 komentar:

  1. Salam Kenal Bung
    Beta Pung Nama Jetter Wilson Salamony...Beta salut deng Tanggapan deng Pandangan Bu tentang Tulisan dari "Rabby Avner"

    Disini katong samua seng mau Lai Maluku Hidop Dalam Kerusuhan,Apalai beta seng sanggup lia apa yang pernah terjadi.

    Beta cuma bisa bilang Kalo sempat Bung Baca Buku " ANAK BETAWI DI BURU INTEL YAHUDI " By : Ridwan Saidi dan...semua tulisan lanjutannya denga Judul Lain,mungkin Bung Bisa punya Pertimbangan Lain Tentang KERUSUHAN MALUKU.Yang adalah Percobaan Pembasmian Etnis Yang dinilai mempunyai Hubungan Erat dengan Bani GAD

    Sory...itu Kisah Nyata yang dibuat dalam Novel Komedi...
    Tulisan ini dibuat setelah Ridwan Saidi (Tokoh Islam Betawi) menyelesaikan Studi di Israel dan mencuri beberapa Dokumen penting Tentang 12 Suku Israel di Dunia.


    Wasalam...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam Kenal Bung Jetter.
      Beta Nama Willi Nitalessy... Beta sangat tertarik dengan komentar bung di atas. mungkin beta bisa mendapatkan buku yang di maksud dan cerita lebih lanjut mengenai kisah yang bung tulis di atas. kalau boleh beta bisa tau gimana cara menghubungi bung.... bung Ini Alamat Emailnya Beta. Smeygy@yahoo.com dangke sebelumnya. GBU

      Hapus
  2. mantap bro....tingkatkan
    eh...katong tukar link dlo....

    BalasHapus
  3. Proganda rms deng menggunakan simbol yahudi lalu dihubung-hubungkan padahal tidak logis, fakta historis bukti penilitian seng ada_ sio tai kes voor hari avner sakit- sakitan bukan sahertian lai

    BalasHapus
  4. Salam kenal ada satu buku baru saya belum baca namanya PINTU GERBANG EMAS ISRAEL YANG TERTINGGAL DI INDONESIA ditulis oleh Rabbi Resley penerbit Pustaka Solomon Yogyakarta. SAya cari Gramedia susah karena sold out. SAya tidak tahu RABBI RESLEY apakah dia Benar seorang Rabbi Yudaisme...tulisan ini diterbitkan tahun 2011 http://media.kompasiana.com/buku/2011/10/31/ternyata-moyang-orang-maluku-adalah-bangsa-yahudi/ saya sedang menanyakan ke kawan dari gereja Kehilat Mesianik yang dekat dengan Messianic Jewish di Israel dan ke teman yang memamng keturunan Yahudi dan mesianik yang masih bergaul dengan kelompok keturunan yahudi di Indonesia mengenai kebenaran klaim itu.

    BalasHapus
  5. kalay kamu harus tahu bahwa ini pun telah kami tinjau.. dan semuanya melalui riset dan penelitian bertahun-tahun., dan yang jelasnya bahwa keturunan Abraham (Israel) punya ciri yang berbeda..

    BalasHapus
  6. halo anonim, terimakasih sudah memberikan pemikiran yang cukup objektif dan terukur dalam menilai buku tsb, sbb menurut saya pribadi kerukunan dan realitas bahwa masyarakat maluku sangat membutuhkan kerjasama dan pemikiran maju di kalangan masyarakat maluku sendiri jauh lebih penting !! ketimbang mengklaim kalau anak kunci yang katanya hilang itu ada di sini. Di Indonesia di negri maluku. Tks Rama L Sahuburua

    BalasHapus