Total Tayangan Halaman

Selasa, 19 Januari 2016

Puisi Sebagai Media Berteologi


Kemarin siang seorang teman di Facebook memposting sebuah puisi ke beranda akunnya. Puisi itu tanpa judul. Mungkin saja teman-teman sastrawan bisa mendebatkan ketiadaan judul puisi ini. Bagi saya, itu tidak penting! Yang penting ialah bagaimana suatu puisi berhasil memotret realitas sosial dengan cermat dan menyampaikannya melalui bahasa yang dikonstruksikan secara menarik untuk menggaet atensi publik. Puisi ini berhasil menarik atensi saya (sebagaimana juga mengundang ratusan 'likers') dan menjadi alasan saya menerbitkan catatan kecil ini.

Puisi "tanpa judul" itu sengaja saya repost melalui akun Facebook saya segera sesudah diterbitkan. Tidak salah jika saya merepetisi kembali puisi yang ditulis oleh Bung Weslly Johannes itu.

"Bila aku memandang Maluku dari puncak gunung Sinai, maka di sana ada saudara tiri yang saling bermusuhan. 
Namun, bila ku pandang dari Nunusaku, puncak Binaiya atau Gamalama, maka di pulau-pulau yang semula sunyi, kulihat Ismail dan Ishak terlahir kembali sebagai saudara kembar dari rahim Siwalima.
Satu tali pusar.  Satu darah."

*) Sumber: Akun Facebook Weslly Johannes.

Bung Wes, begitu sapaan akrab Sang Penyair, ialah pendeta muda di Gereja Protestan Maluku. Ia juga ialah senior kami dulu di Fakultas Teologi UKIM Ambon yang sempat menjadi kawan sekamar saat mengikuti Program Laboratorium Sosial dan Pengalaman Berteologi (LSPB), yang di kampus sekuler biasa disebut PKL atau KKN. Dalam hibriditas identitas yang bersangkutan inilah, maka saya senang menyebutnya sebagai "teolog sastra". Istilah ini digunakan untuk menyebut orang yang berteologi melalui sastra. 

Secara teologis, sebetulnya tidak ada rumpun Teologi Sastra. Hanya ada empat framework atau cabang ilmu Teologi; Historika yang menelusur sejarah gereja ataupun sejarah perkembangan pemikiran Teologi, Biblika yang memfokuskan pada upaya mengkaji teks-teks Alkitab, Sistematika yang berurusan dengan dogmatika atau ajaran gereja, dan  Praktika yang mengkaji segala hal yang berkaitan dengan praksis bergereja.

Jika dibawa ke ranah empat kategori ini, maka Teologi Praktika mungkin yang paling bisa mengakomodir Teologi Sastra. Mengapa? Jika Homiletika atau khotbah bisa dikategorikan sebagai bagian dari rumpun teologi Praktika, maka hal demikian pun bisa terjadi pada sastra. Sastra bisa digunakan sebagai "alat" atau "media" untuk menyampaikan pesan tentang Allah kepada khalayak, sama seperti khotbah digunakan di mimbar-mimbar gereja. Bahkan, dalam Alkitab sendiri cerita-cerita tentang bagaimana Allah berelasi dengan manusia dan alam diungkapkan melalui sastra. Misalnya, gagasan tentang Inkarnasi - Firman yang menjadi Daging - dalam Injil Yohanes 1 dikonstruk dalam bentuk himne atau puisi yang diambil dari lingkungan Helenistik. Begitu juga dalam Mazmur yang sarat dengan puisi.  Selebihnya, Alkitab dalam pandangan teori Naratif pada hakikatnya merupakan sebuah karya sastra.  

Dalam konteks dunia yang semakin berubah, khotbah tidak lagi bisa dipertahankan sebagai satu-satunya media untuk menyampaikan Firman. Firman Allah dan pesan profetik lainnya bisa disampaikan melalui berbagai media , seperti sastra, seni, film, status Facebook, dan lain-lain. Bahkan, bisa jadi pesan yang disampaikan melalui sastra memiliki nuansa profetik yang kuat, lebih teologis, lebih original, dan lebih empatik dengan isu-isu yang berkaitan dengan keadilan dan perdamaian, ketimbang khotbah - yang dalam amatan saya - sering pula dijadikan sebagai alat untuk mengkonstruksi identitas atau membangun citra diri pengkhotbah. Artinya, berita tentang Allah tidak lagi menjadi kerugma yang diberitakan melalui khotbah, tapi pengkhotbah. Belum lagi persoalan khotbah yang gagal mendialogkan teks dengan konteks secara kritis. 

Berdasarkan pada payung Teologi Praktika inilah, saya pikir penggunaan istilah Teologi Sastra sebetulnya bisa digunakan. Semoga saja ke depan ada upaya-upaya teoritis, analisis, dan sistematis untuk mengkaji Teologi ini. 

Kembali pada persoalan Puisi Tanpa Judul. Melalui puisi ini Wessly Johannes berhasil berteologi secara kontekstual. Teologi Kontekstual ialah Teologi yang menempatkan konteks sebagai keprihatinan utama. Menurut hemat saya, tema kontekstual yang menjadi jiwa dari puisi ini berkaitan dengan isu hubungan dan perdamaian antar-agama di Maluku. Puisi Johannes ini merangsang saya untuk menginterpretasikan beberapa hal sehubungan dengan tema Teologi Agama-agama di dalamnya.

Puisi Johannes mengandung kritik  yang tajam kepada Islam dan Kristen. Pemilihan kata atau diksi "Sinai" di sini, bagi saya, digunakan untuk merujuk pada "tempat" dimana kedua tradisi ini berasal, tetapi juga sekaligus posisi dan hubungan keduanya sebagai agama Abrahamik (berlatar pada tradisi Abraham atau Ibrahim).

Sejak era perang Salib kedua tradisi ini  telah mengalami ketegangan, seumpama "anak tiri" yang sering bersikut-sikutan. Ketegangan ini dihidupi berabad-abad lamanya dan sering memuncak dalam konflik dan kekerasan, sebagaimana yang pecah di Maluku pada 19 Januari 1999 atau 17 tahun yang silam terhitung mundur dari kemarin ini. Sebagai dua tradisi yang berbeda, tapi berdasar pada akar yang sama keduanya sering memperebutkan hegemoni dan kekuasaan. Pada konteks inilah, Johannes "menampar" keduanya dengan menggunakan tangan puisi. Jika Paul Knitter, teolog Agama-agama yang termasyur itu melalui karyanya "Menggugat Arogansi Kekristenan", maka Johannes berhasil menggugat arogansi keduanya, "Menggugat Arogansi Kekristenan dan Islam".

Arogansi agama-agama muncul karena keyakinan bahwa tradisinya yang paling benar, agamanya ialah agama sahih, dan yang lain tidak benar dan tidak sahih. Padahal, kebenaran atau kesahihan itu sendiri bukanlah sesuatu yang objektif, melainkan subjektif sebab dibentuk oleh standar-standar tertentu sesuai dengan konteks dan kebutuhannya. Dalam sejarah gereja, kita kenal adanya deklarasi "extra-ecclesia nulla salus" sebagai produk gereja yang artinya, "di luar gereja tidak ada keselamatan". Deklarasi ini tentu sangat provokatif pada zaman itu dan saya yakin akan lebih provokatif (dan problematik) jika digaungkan sekarang ini dalam konteks dunia yang semakin multi-religius. Kecendrungan triumfalistik ini juga bisa ditemukan dalam tradisi Islam, yakni pandangan bahwa selain Islam agama lain dianggap kafir dan harus dibasmi. Tidak heran jika terorisme banyak muncul karena ideologi (bukan teologi) seperti ini. Realitas ini dipotret oleh Johannes dan mendeskripsikannya dengan kalimat "saudara tiri yang saling bermusuhan".

Dalam konteks Maluku, Johannes sepertinya pesimis melihat peran kedua agama ini sebagai "agent of Peace" - media pembawa damai. Mungkin interpretasi saya yang keliru, tetapi penggalan bait pertama merupakan indikasi eksplisit tentang kegagalan kedua agama untuk memainkan peran tadi. 

Jika interpretasi saya benar, maka nampaknya saya perlu mengajukan satu catatan kritis, bahwa kendatipun Islam dan Kristen selalu berada dalam ketegangan akibat arogansi tadi, hal itu tidaklah berarti bahwa agama tidak bisa menjanjikan sesuatu bagi perdamaian bumi. Secara intrinsik, agama masih memiliki spirit perdamaian di dalam dirinya; kekristenan masih terus berjuang untuk mewujudkan "syalom" atau "eirene" sebagaimana Islam berjuang untuk menebarkan "assalamu'alaikum", sebuah pernyataan damai kepada sesama.

Hal kontekstual lain yang menarik dari puisi Johannes ialah ketika ia mengatakan, "bila ku pandang dari Nunusaku, puncak Binaiya atau Gamalama, maka di pulau-pulau yang semula sunyi, kulihat Ismail dan Ishak terlahir kembali sebagai saudara kembar dari rahim Siwalima. Satu tali pusar.  Satu darah." Saya pikir ini klimaks dari puisi tanpa judul ini, yang harus diakui "double-meaning" (sarat makna. 

Namun, penggunaan simbol-simbol kemalukuan dalam puisi ini setidaknya hendak menegaskan bahwa "agama bisa ditransformasikan oleh budaya". Ini berarti, adagium bahwa iman Kristen mentransformasi budaya bisa dibantah. Bukan hanya agama yang "mengkonfrontasi" budaya, tapi budaya pun bisa "mengkonfrontasi" agama. Di sini terjadi konfrontasi silang atau dalam bahasa Martin Brinkmann disebut "two-sided transformation" (transformasi dua arah).

Nunusaku, Binaiya, dan Gamalama ialah simbol-simbol sakral di Maluku yang merupakan nama-nama tempat, dalam hal ini gunung. Jika seluruh keberadaan orang beragama di Maluku dipandang dari titik ini, atau dari sudut pandang kemalukuan, maka Islam bukan lagi menjadi saudara tiri bagi kekristenan, tetapi sebaliknya hanya sebagai "sesama saudara". Istilah "sesama saudara" atau dalam Alkitab disebut "sesama manusia" digunakan untuk merujuk pada hubungan yang melampaui sekedar hubungan biologis atau etnis, melainkan hubungan sebagai orang-orang yang saling solider atas atas prinsip kemanusiaan. 

Dengan memandang dua tradisi ini dalam konteks budaya Maluku, negeri yang pernah bercokol karena arogansi, maka keduanya berubah menjadi dua kekuatan besar yang ditopang dengan kekuatan kultural yang digunakan untuk mewujudkan masyarakat damai. 

Dua hal inilah yang bisa saya interpretasi dari puisi Tanpa Judul ini. Daya estetis, profetis, dan filosofis yang kuat dalam puisi ini tentu mengundang berbagai interpretasi yang beragam dari banyak perspektif. Silahkan saja. 

Akhirnya, kami akan terus menunggu Teologi yang dikemas di dalam puisi dan bentuk sastra lainnya. Senang melihat Maluku sudah punya banyak Teolog Sastra, di samping Weslly Johannes, Wirol Hairissa, Ecko Poceratu, dan sederetan nama lainnya. 

Terus berkarya, sobat!

Salam dari Tanah Batak

Kamis, 14 Januari 2016

Mengapa Teror?

Insiden Thamrin kemarin, 14 Januari 2016, menunjukkan bahwa terorisme tidak kehilangan tempatnya di Indonesia. Beberapa tahun lalu, pasca pengeboman Bali ataupun Ritz Carlton Hotel di Jakarta, Indonesia mendapat "cap merah" sebagai rumah bagi jaringan terorisme global. Dalam periode sesudah itu, insiden-insiden serupa nampaknya mulai berkurang seiring dengan kemapanan demokrasi, kontrol negara dan lembaga agama, serta kesadaran publik tentang terorisme. Peristiwa Thamrin kembali menguak cerita bahwa Indonesia belum berakhir dengan terorisme. Bahkan, bukan hanya itu, peristiwa yang memakan korban jiwa ini diduga sebagai upaya hegemonis untuk merebut tampuk kepemimpinan ISIS di Asia Tenggara, dimana Indonesia diposisikan sebagai target utama. 

Terorisme tentu ialah kekerasan barbar yang tidak bisa ditolerir atas alasan apapun. Charles Daryl mendefinisikan terorisme sebagai tindakan pembunuhan dan penghancuran yang dilakukan secara serampangan kepada orang-orang yang tidak bersalah. Terlepas dari dampak merugikan yang ditimbulkannya, keserempangan itu sendiri ialah pelanggaran berat terhadap hak hidup atau hak hidup damai sebagai hak-hak dasar dalam perangkat Hak Asasi Manusia. 

Mengapa ada terorisme? Ini pertanyaan yang sering dilontarkan. Banyak orang sering mengklaim bahwa ada hubungan antara terorisme dengan ideologi agama. Max Abrahams dalam bukunya yang berjudul "What Terorists Really Want: Terrorist Motives and Counter-Terrorism Strategy", juga menyinggung adanya kaitan agama dengan terorisme. Artinya, terorisme bisa saja muncul sebagai bentuk misinterpretasi terhadap agama sehingga agama diposisikan sebagai legitimator atas terorisme. Di titik ini, Abrahams benar adanya dengan memperlihatkan bagaimana agama "dimanipulasi" ataupun "memanipulasikan" dirinya untuk mencapai tujuan yang justeru tidak agamawi. 

Namun begitu, beta melihat bahwa publik seringkali juga kebablasan dengan hal ini. Setiap tindakan terorisme seringkali dihubungkan dengan satu agama tertentu dalam hal ini Islam, sehingga opini publik tentang Islam sebagai agama teror dibentuk. Padahal, terorisme tidak selamanya berkaitan dengan agama. Ketika insiden teroris terjadi di negara-negara barat, justifikasi seperti ini nampaknya menguat sekali. Berbeda jika insiden serupa terjadi di negara-negara yang justru populasinya lebih banyak beragama Islam. Insiden di Sarinah yang korbannya (korban luka-luka)  lebih banyak adalah warga sipil beragama Islam, mengindikasikan bahwa teroris tidak selalu menargetkan kelompok agama yang berbeda. 
Atau tidak selalu berkaitan dengan agama.

Dalam konteks ini teori instrumentalis yang dikemukakan oleh Hesenclever dan Rittberger mungkin benar. Bahwa, agama sering juga dipakai sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan politik melalui terorisme. Agama hanya diperalat. Kekerasan yang dilakukan kelompok teroris bisa jadi ialah upaya awal membangun negosiasi politik untuk mencapai kepentingan mereka. Di samping faktor misinterpretasi agama dan motif tujuan politik, Abrahams juga melihat bahwa kekerasan dan terorisme bisa saja terjadi sebagai bentuk solidaritas sosial dengan sesama kelompok terorisme lainnya. 

Lalu, bagaimana mencegah terorisme atau mencegah seseorang menjadi teroris? Ada beberapa opsi yang kiranya bisa dipertimbangkan.

Pertama, fakta menunjukkan bahwa orang-orang yang terlibat dalam terorisme ialah orang-orang yang secara ekonomi miskin, secara sosial cenderung mengalami ketidakadilan dan diskriminasi, secara edukatif berpengetahuan rendah, secara politis tidak punya posisi. Singkatnya, kelompok ini memiliki kapasitas diri yang lemah. Keterbatasan ini seringkali membuat mereka mengalami ketidakadilan dan alienasi dari wilayah publik sehingga memungkinkan mereka mudah terindoktrinasi. Oleh karena itu, maka negara dengan seluruh elemen masyarakat harus terus bekerja untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat, dalam hal ini individu, sehingga kapasitas ini digunakan untuk hal-hal positif serta melaluinya kontrol diri bisa dibangun. Menurut Abrahams, kalau negara gagal mengatasi ketidakadilan multidimensi, maka negara terlibat dalam memberi ruang bagi terorisme. Kedua, di samping penguatan kapasitas individu, penguatan demokrasi dan nasionalisme juga menjadi penting. Iklim demokrasi yang lemah dalam tatanan berbangsa serta rendahnya rasa nasionalisme bisa memungkinkan suburnya terorisme di negara ini. Ketiga, supremasi hukum harus ditegakan sehingga seluruh bentuk terorisme harus ditindak dengan hukum. Keempat, hal yang cukup vital ialah penguatan peran agama dan lembaga budaya. Sejak terorisme sering terjadi sebagai wujud misinterpretasi ajaran agama, maka seluruh perangkat agama harus dievaluasi dan direinterptasi sesuai dengan tanggung jawab profetis masing-masing agama. Di samping itu, pendekatan kebudayaan juga dirasa perlu diperkuat. 

Say No to Terrorism!

Rabu, 13 Januari 2016

"Merayakan Ingatan, Melawan Lupa": Sebuah Gerak Masa Depan.


Dalam Temu Raya Alumni Pendidikan Teologi (TRAPT) GPM di Ambon hari kemarin, Fakultas Teologi UKIM telah melaunching  buku penghargaan atau Feestchrift atas pengabdian seorang dosen Senior. Pak Saleky, begitulah sang Guru sering disapa. 

Beta sendiri tidak tidak punya pengalaman berguru dari beliau, bahkan belum pernah berjumpa samasekali. Tapi toh ini tak berarti bahwa tidak ada hubungan samasekali dengan beliau. Sebaliknya, sang guru ini telah melahirkan banyak guru-guru muda di Talake, yang di kemudian hari kepada mereka pun beta berguru. Sang guru senior ini ialah guru dari guru-guru beta atau beta adalah murid dari murid-muridnya. Di sinilah konektivitas  itu jelas adanya.

Sebagai penghormatan terhadap Sang Guru, maka Feestchrift yang diberi judul "Merayakan Ingatan, Melawan Lupa" itu diinisiatifkan oleh para alumni Pendidikan Teologi GPM yang wujudnya sekarang adalah Fakultas Teologi UKIM. Buku seri penghargaan tokoh ini sepenuhnya merupakan proyek Alumni dalam koordinasi bersama dengan pihak F. Th. UKIM. Sebagai proyek Alumni, maka buku ini pun dikonstruksi oleh pemikiran-pemikiran segar, original, dan kontekstual dari 'para Teolog asal Talake' melalui artikel-artikel yang beragam secara tematis. 

Keragaman tema dalam Feestchrift ini meliputi tema sejarah (sejarah sosial Gereja di Maluku, sejarah pendidikan Teologi GPM, metodologi sejarah dalam penelitian Teologi, dan filsafat sejarah kritis, serta isu-isu sejarah lainnya), ekoteologi, spiritualitas dan kearifan lokal, homiletika, dan bahkan korupsi sebagai tantangan berteologi dan bergereja di Indonesia. Dari keragaman tema ini tentu aksentuasi berada pada tema  sejarah, sebagaimana nadi dari buku ini: Melawan Lupa. 

Secara pribadi beta sangat mengapresiasi kerja keras para alumni sebagaimana mengapresiasi kesempatan untuk mengekspresikan gagasan di Feestchrift ini. Ada beberapa ide yang bisa beta sampaikan terkait dengan lahirnya "Merayakan Ingatan, Melawan Lupa".

"Merayakan Ingatan, Melawan Lupa" sebagai proyek pertama dari komunitas APT-GPM merupakan sebuah langkah progresif yang harus mendapat sambutan positif. Munculnya Feestchrift ini, bagi beta, memiliki multi-indikasi. Indikasi utama ialah bahwa jaringan alumni semakin kuat, sekalipun selama ini kurang terkoordinir secara organisasi. Wilayah penyebaran alumni yang lintas geografis, lintas gereja, dan bahkan lintas profesi ternyata bisa dijaring dan dirangkul berdasarkan sebuah ingatan kolektif yang kuat mengenai identitas dasar sebagai produk Talake. 

Keberhasilan penjaringan ini sebetulnya merupakan modal untuk melakukan sesuatu yang lebih besar di masa mendatang... Semoga! Kendati begitu, penjaringan ini harus memiliki basis yang kuat dalam suatu wadah organisasi yang terstruktur dan fungsional. Oleh karena itu, fungsionalisasi organisasi APT-GPM semoga diperkuat.

"Merayakan Ingatan, Melawan Lupa" pun mengindikasikan  bahwa khazanah berteologi di Indonesia semakin diperkaya oleh pikiran dari Talake. Kontribusi ide ini menunjukkan kemampuan berteologi yang tertuang di atas kertas dan dikonsumsi secara publik.

Publikasi perdana ini haruslah menjadi stimulus bagi para alumni untuk terus berpikir dan mengekspresikan tulisan yang dapat dipublikasikan. Publikasi ialah kata kunci di sini! Mengapa publikasi penting? Publikasi bukan sekedar soal pengekspresian ide, tapi juga menyangkut promosi dan sosialisasi, yakni sebagai upaya menempatkan 'diri' di tengah publik, nasional maupun internasional. Diri di sini tidak hanya bermakna personal, tapi juga institusional. Melalui publikasi orang mengenal siapa kita (red: F. Th. UKIM). 

Beta kira ke depannya publikasi kiranya harus mendapat perhatian serius terutama dari Fakultas Teologi UKIM yang sudah terbukti memiliki figur yang sepak terjangnya nasional dan internasional - Dr. Margaretha Hendriks-Ririmase, misalnya. Perempuan yang pernah menjabat sebagai Vice Moderator di Dewan Gereja se-Dunia ini memiliki kontribusi global yang mencengangkan. Tokoh-tokoh lain seperti Dr. Lies Marantika, Nancy Souisa, Dr. Cand., Steve Gasperz, Ph. D. Cand., Dr. Soni Hetharia, Monike Hukubun, Dr. Cand., Roland Samson, M. Th., Desi Tuasela, M. Th., Rie Apituley, M. Th. dan lain sebagainya adalah figur-figur yang sudah menasional dan bahkan menginternasional. Belum lagi para alumni dari luar F. Th. UKIM - Dr. Yudit Tiwery, Rudy Rahabeat, Dr. Cand., Elifas Maspaitella, M. Si., Jusnick Anamofa, M. Hum., Vin Labetubun, M. Th., Andre Souhoka, Micky Joseph, dan sederetan nama lainnya. Semua aset APT-GPM ini merupakan modal luar biasa yang diharapkan semakin giat memprimosikan pikiran Teologi Maluku melalui publikasi. 

Untuk menunjang publikasi, maka optimalisasi lembaga penerbitan harus dilakukan. UKIM Press sebagai lembaga penerbitan milik UKIM harus diboboti dengan sumber daya dan stakeholder atau mitra bestari yang juga memadai. Pemanfaatan lembaga ini pada akhirnya menunjang akreditasi lembaga. Hal ini tidak berarti bahwa kesempatan networking dan kerja sama dengan lembaga penerbitan lainnya, seperti BPKGM dan Kanisius harus tertutup. Sebab, idealnya publikasi dari APT-GPM sudah harus merambah kemana-mana. 

Akhirnya, selamat Merayakan Ingatan, Melawan Lupa. Semoga Feestchrift ini menjadi "stepping point" menuju masa depan. 

Nos Autem Praedicamus Christum Crucifixum.

Senin, 11 Januari 2016

Temu Akbar: Sekedar Merayakan Masa Lalu?

Tahun lalu Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku (selanjutnya disingkat F.Th. UKIM) bersama dengan ikatan Alumni F.Th. yang berbasis di Ambon mencanangkan Kegiatan Temu Raya Alumni Pendidikan Teologi GPM.

Penggunaan istilah Pendidikan Teologi GPM, dan bukan alumni F. Th. UKIM dilatarbelakangi oleh perubahan nama institusi pendidikan Teologi dari masa ke masa (yang sekarang melebur di UKIM sebagai satu Fakultas. Sebelum menjadi bagian dari UKIM, Fakultas Teologi dulunya ialah Sekolah Tinggi Teologi GPM (STT GPM) yang merupakan metamorfosis dari Institut Teologi GPM. Institut ini sendiri sebelumnya ialah sebuah Akademi Theologia. Akademi ini berkembang dari Sekolah Theologia GPM. 

Embrio dari Sekolah Theologia GPM, Akademi Theologia, Institut Theologia GPM, STT-GPM ataupun Fakultas Teologi UKIM ialah STOVIL (School Tot Opleiding van Inlands Leraars) yang telah berdiri sejak tahun 1885 dan hidup selama kurang lebih lima puluh tahun sebelum akhirnya berubah menjadi sebuah Sekolah Teologi milik gereja di Maluku. Keragaman nama institusi inilah menjadi alasan reuni yang akan dilakukan mulai hari ini, Selasa 12 Januari 2016 hingga dua hari ke depan, dinamakan sebagai Temu Raya Alumni Pendidikan Teologi GPM yang akan menjadi wadah perjumpaan bagi seluruh alumni yang tersebar di seantero Maluku, Nusantara, bahkan di luar negeri.

Sejak beberapa hari sebelumnya, media sosial sudah diramaikan dengan berbagai postingan reuni Angkatan sebagai bagian dari suksesi Temu Raya itu. Angkatan tahun 1993, misalnya, telah mensiasati pertemuan pra-reuni. Sejauh amatan di dunia virtual, hal yang sama juga terjadi untuk Angkatan 1992, 1993, 1994, 2002, 2003, dll. Juga GENTA (angkatan 2000) - salah satu angkatan favorit semasa di Talake dulu - sudah memantapkan not untuk berpadu dalam melodi, sebagaimana ciri khas Angkatan ini, untuk menjadikan Temu Raya sebuah lagu yang merdu. Angkatan kami, Triple T-Five (Angkatan 2005) jauh-jauh hari sejak Desember 2015 telah beberapa kali melakukan pertemuan pra-Temu Raya. 

Bahkan, berbagai postingan datang dari berbagai belahan Nusantara mengenai kesiapan menyongsong kegiatan ini. Rombongan Jawa-Bali ialah yang cukup pro-aktif untuk hal ini. Sayang sekali gaung Temu Raya ini kurang terdengar di wilayah Sumatera dan Kalimantan (ladang saya sekarang), mungkin karena faktor minimnya pengorganisasian alumni yang tersebar di dua wilayah ini. Semoga ke depan, ini menjadi perhatian bagi Pengurus Alumni.

Menurut informasi, Temu Raya yang dilakukan menjelang Sidang Sinode GPM ini akan diisi dengan berbagai kegiatan seperti Seminar, Launcing Buku Penghargaan kepada dosen senior (merupakan kumpulan tulisan yang ditulis oleh beberapa alumni), Temu Tutor, dlsb. Desain bentuk Temu Raya seperti ini tentu baik adanya sehingga perjumpaan itu memiliki nuansa akademis sebagaimana esensi dan ciri alumni dan institusi pendidikan Teologi GPM itu sendiri sebagai institusi akademis.

Dalam konteks ini, satu pertanyaan yang perlu diusung ialah apa sebetulnya yang sedang kita lakukan dengan Temu Raya? Apakah perjumpaan ini sekedar sebuah perayaan dan pengagungan akan masa lalu? Apakah ini hanya kesempatan untuk bernostalgia dan mengingat setiap rangkaian masa sewaktu di Talake, tanah dimana UKIM ada sekarang? Ataukah justeru melampaui semua itu? Beta rasa ini pertanyaan-pertanyaan penting yang harus disadari oleh setiap alumni bahkan oleh penggagas dan panitia pelaksana. Tanpa mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, Temu Raya ini sekedar akan menjadi "A History of the Historical Recollection" (sebuah Sejarah dari Pengenangan Sejarah) . Dengan begitu, maka dimensi historis yang sedang ditekankan, sehingga tidak ada ruang pada dimensi futuris. Artinya bahwa, perjumpaan seperti ini tidak punya masa depan. 

Sebaliknya, pertanyaan yang menggugah substansi Reuni ini akan melahirkan "kesadaran historis", tapi sekaligus juga "kesadaran futuris" - yakni sebuah kesadaran tentang masa depan pendidikan Teologi di Maluku, bahkan juga tentang masa depan peran dan kontribusi Alumni dalam gereja maupun dunia sekuler melalui multi-peran yang dimiliki sebagai bagian integral dari mewujudkan misi, "Nos Autem Praedicamus Christum Crucifixum" (Memberitakan Kristus Yang Tersalib).

Dua dimensi inilah - Historis dan Futuris - yang kiranya menjadi substansi dari Temu Raya Alumni Pendidikan Teologi GPM. Pada satu sisi, perayaan Sejarah memberi ruang bagi "cerita-cerita masa lalu" tentang suka-duka perjuangan menempuh studi Teologi, manisnya relasi "Ade-Kaka", warna-warni karakteristik dosen, pengalaman Kamal dan berjemaat, dan lain sebagainya, termasuk cerita-cerita tentang kepolosan dan keluguan yang menggelitik. Pada intinya, penuturan kembali cerita-cerita masa lalu itu ialah dalam rangka meneguhkan identitas sebagai satu keluarga besar Alumni Pendidikan Teologi GPM dan membangun cinta tentang almamater tercinta. Di sisi yang lain, cerita-cerita masa lalu yang dituturkan di masa sekarang haruslah menjadi modal untuk memikirkan tentang cerita lain, yakni cerita masa depan apa yang harus direncanakan melalui momentum Temu Raya ini.

Selain itu, Temu Raya ini haruslah juga menjadi momentum evaluasi tentang sejauh mana "Teologi Talake" berhasil dihidupi, relevan, dan kontekstual di panggung gereja dan publik sebagai medan panggilan Alumni Pendidikan Teologi GPM. Hal ini tentu menjadi refleksi personal yang kemudian bisa dicakapkan di ruang kolektif sebagai kontribusi demi perbaikan pendidikan Teologi di Maluku. Sebab salah satu hakikat reuni ialah berkontribusi secara kritis dan konstruktif bagi almamater, dalam hal ini Fakultas Teologi UKIM.

Dalam amatan beta, salah satu tantangan yang dihadapi oleh Alumni Pendidikan Teologi GPM sekarang ini ialah hibriditas atau multi-identitas yang dimiliki oleh para alumni. Hibritas atau multi-identitas ini meliputi status profesi (pendeta dan non-pendeta), belum lagi pendeta GPM dan bukan pendeta GPM, serta hibritas pendidikan Teologi lanjutan yang ditempuh di luar UKIM sehingga lahirlah blok-blok tertentu. Hibriditas atau multi-identitas ini sering menimbulkan "persinggungan" karena kegagalan untuk melihat semua itu sebagai sumber daya demi membangun gereja dan masyarakat Maluku, serta Indonesia sebagai konteks makro berteologi. 

Kendati demikian, Temu Raya ini setidaknya menjadi "reminder" bahwa kita semua masih disatu-padukan dalam sebuah identitas dasar sebagai "mantan penghuni Talake". Kesadaran akan identitas ini kiranya dapat mengeliminir potensi ketersinggungan atau konflik yang dapat memecah-belah relasi Ade-Kaka, sehingga semua potensi disinergikan untuk membangun gereja tercinta - GPM - dan gereja-gereja lainnya sebagai ladang pengabdian para alumni serta membangun Maluku, Tanah Raja-raja, dan bangsa Indonesia.

Satu catatan kritis lain yang perlu dikemukakan juga ialah Temu Ade-Kaka ini diharapkan mampu memutuskan dosa kategori Biner Senior-Junior yang berdampak dalam banyak hal. Mengenai penyebutan, adalah lebih baik jika relasi itu dibahasakan sebagai relasi Ade-Kaka dan bukan relasi Senior-Junior (beta kira ini sudah mulai jarang dipakai). Hal ini karena kategori Senior-Junior sarat dengan hegemoni dan politik dominasi. Hegemoni ini akhirnya memenangkan "Yang dituakan" sehingga yang dimudakan diposisikan sebagai yang tersubordinasi. Dari perspektif Critical Discourse Analysis Norman Fairclough, pemilihan kata junior dan atau senior bisa memiliki tiga tujuan: mengkonstruksi identitas, mengatur posisi subjek, dan transfer wacana mengenai subjek.

Sebaliknya, penyebutan Ade-Kaka menandakan bahwa relasi itu dirayakan dalam suasana kekeluargaaan - "laeng sayang laeng". Dalam relasi kekeluargaan inilah, kompetensi dan profesionalitas dijunjung dan dimuliakan, sehingga siapa saja - Ade ataupun Kaka - diberi ruang dan peluang yang sama. Yang terjadi selama ini ialah deifikasi senioritas (yang senior seolah-olah dituhankan), sehingga akses terhadap kesempatan acapkali terbuka hanya kepada yang diseniorkan. Temu Raya ini, sekali lagi, harus dapat membungkam dosa ini dan membangun kesadaran tentang egalitas, proporsionalitas, dan profesionalitas.

Hal terakhir yang perlu dilihat dan diapresiasi dari Temu Raya ini ialah bahwa wadah ini menunjukkan betapa Teologi GPM telah merambah ke seantero Nusantara dan juga di luar negeri, baik di birokrasi gereja maupun non-gereja. Tingkat penyebaran para alumni yang hampir berada di seluruh wilayah Indonesia menjadi bukti tersendiri bahwa produk pendidikan Teologi Maluku laku di pasar kerja pada aras nasional bahkan internasional.

Sekalipun demikian, Fakultas Teologi UKIM harus secara terus menerus meningkatkan kualitas pendidikan Teologi melalui peningkatan kualitas tenaga pengajar, updating terhadap informasi, penggunaan teknologi dalam pembelajaran, pembangunan infrastruktur yang memadai, serta networking atau penjaringan mitra. Dalam arus kompetisi yang sangat menantang, Fakultas Teologi UKIM akan bisa bersaing jika hal-hal seperti tadi diupayakan. Di sinilah peranan Alumni sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. 

Selamat Berjumpa Ade deng Kaka. Selamat Mengenang Masa Lalu dan Meramu Masa Depan. 

Bangga menjadi bagian dari F. Th. UKIM. Salam hangat dari STAKPN Tarutung, Sumatera Utara.

Nos Autem Praedicamus Christum Crucifixum.

Nelson Kalay, 
Triple T-Five.