Total Tayangan Halaman

Rabu, 21 Oktober 2015

Papua Menolak Stereotipe!

Di halaman sebuah majalah kesehatan ditemukan gambar ini. Sebuah potret realitas Papua, negeri cantik di ufuk Timur Matahari. 


Ini satu dari sekian hal yang menunjukkan bahwa Papua semakin tampil menjadi objek diskursif yang sangat menarik untuk dibahas, bukan hanya soal potensi alam, tapi juga tentang kecerdasan berbudaya atau adat istiadat, dinamika kehidupan sosial-ekonomi dan berbagai problematikanya, serta realitas lainnya. Lagi-lagi ini sebuah upaya menempatkan Papua dalam konteks wacana nasional. 

Kendati begitu, saya menemukan hal lain yang menurut saya kuat mengandung stereotipe miring tentang orang Papua (dalam gambar ini). Sebuah stereotipe yang juga lahir dari konsumsi terhadap wacana-wacana yang kadang tidak "fair" tentang wajah Papua sebenarnya. 


Kalau memperhatikan gambar ini - gambar seorang anak yang diberi tanda merah - kita sekilas akan membentuk wacana kita tentang "manusia Papua", tentu dengan kecendrungan menjadikan itu bahan yang menggelitik kita. Ya, seorang anak hitam keriting hingusan! 

Tampilnya "anak hitam, keriting, dan ingusan" sepertinya menarik untuk diperhatikan. Sosok ini mengandung fakta tapi juga kebohongan tentang Papua. 

Pertama, "hitam kulit dan keriting rambut" adalah fakta. Fakta ini menjadikan manusia Papua benar-benar unik. Eksotis. Kedua, "anak ingusan bersama para kawan" ialah fakta lain dari orang Papua. Bagi mereka "relasi sosial yang tulus" ialah harga diri mereka. Kebersamaan ialah martabat! Bukan namanya orang Papua kalau persaudaraan tidak dijunjung. Ketiga, "anak ingusan bermain di alam hijau" mengandung cerita lain bahwa Papua kaya alam. Kaya potensi SDA. Alam di sana - tanah, laut, hutan, dan gunung - itu eksotis dan cantik, sama cantik dengan manusianya.

Keempat, "anak ingusan" sendiri ialah kebohongan tentang manusia Papua! Mengapa harus anak beringus di sini? Ini bukan soal mengapa anak ini di sini tapi soal mengapa anak ini ditampilkan sedemikian rupa? Ini tidak cukup representatif untuk menceritakan wajah Papua yang riil. Dalam teori analisis wacana kritis, pemilihan terhadap suatu wacana (gambar merupakan salah satu wacana) sangat dipengaruhi oleh ideologi tertentu. Ada sebuah konstruksi mapan yang mempengaruhi suatu wacana diproduksi. 

Nah, dalam konteks ini patut dipertanyakan mengapa anak Papua harus ditampilkan selalu dalam wajah yang kotor dan dekil? Mengapa bukan sebaliknya? Ini indikasi betapa pandangan miring tentang manusia Papua sudah memapan di wacana publik. Manusia Papua tidak sepenuhnya kotor dan dekil seperti stereotipe yang dibangun tentangnya. Masih terlalu banyak manusia Papua yang tahu necis itu seperti apa. Banyak yang cantik dan ganteng, kreatif dan intelek seperti halnya adik saya - Ley Hay, mahasiswa Teknik Sipil salah satu universitas hebat di Jogja sekaligus penulis novel berbakat. Sewaktu Bersekolah di SMA 1 Sorong dulu pun masih banyak kawan saya yang manis dan elok rupanya...  

Sudah semestinya wacana miring kita tentang Papua didekonstruksi lagi. Jika kita ingin mewacanakan Papua, marilah wacanakan narasi-narasi manis dan cantik darinya. Mari perangi stereotipe jelek tentang Papua... Masih terlalu banyak hal manis di sana... 

Cinta dari Sumatera untuk Papua.

Selasa, 06 Oktober 2015

Saat "bernyanyi" melampaui sekedar kompetisi, lalu menjadi "narasi damai": Coretan pinggiran tentang Pesparawi 2015 di Ambon.

Perhelatan akbar Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi XI) sedang berlangsung di Ambon, Maluku. Event tahunan yang membawa kurang lebih 8000 peserta lintas kategori usia itu akan digelar dari tanggal 2-12 Oktober mendatang di kota yang dijuluki "the city of music" ini. Bagi kebanyakan orang Maluku, ini ialah sebuah kehormatan yang diberikan oleh bangsa ini, tapi juga sebagai peluang untuk tampil dan membuktikan bahwa Maluku, terutama Ambon, bukan sekedar tempat hidup bagi orang yang  pandai bernyanyi dengan nada dan melodi, tapi juga bernyanyi dalam damai sebagai lagu kehidupan. Sebagaimana juga merupakan kesempatan untuk membuktikan bahwa Ambon dari dulu selalu manis dan akan terus manis seperti sekarang. Bahwa Ambon Manise!

Pelaksanaan kompetisi musik gerejawi ini dijiwai dengan tema "Sungguh Alangkah Baik dan Indahnya Hidup Dalam Persaudaraan Yang Rukun".   Usungan tema ini tentu saja dipengaruhi oleh pembacaan terhadap teks Alkitab yaitu Mazmur 133:1-3 yang mempromosikan bagaimana kehidupan yang rukun mampu menciptakan kebaikan dan keindahan. Teks ini tentu memiliki konteks tersendiri dimana kerukunan atau perdamaian ialah isu utama dan kebutuhan yang mendesak ketika penulis itu tampil. Pengusungan itu mengindikasikan bahwa tema ini sangat Alkitabiah atau sangat Kristiani, sebagaimana anggapan bahwa esensi dari Pesparawi ialah bersifat Kristiani.

Formulasi tema tersebut jelas mengandung pesan, tawaran, dan sekaligus ajakan kepada semua komponen bangsa ini. Sebagai pesan, tema ini mengingatkan bahwa "persaudaraan yang rukun" atau dalam filosofi hidup orang Maluku disebut "hidup orang Basudara, potong di kuku rasa di daging" (hidup orang bersaudara jika kuku dipotong daging pun akan terasa) pada dasarnya ialah kebaikan dan keindahan sejati. Tidak ada kebaikan atau keindahan yang lebih dari hidup berdamai dengan sesama. 

Kesejajaran antara ide penulis Mazmur dengan filosofi hidup orang Maluku itu dipertegas dalam rumusan tematis Pesparawi kali ini. Jika kita sepakat mengatakan bahwa konsep "persaudaraan yang rukun" sebagai ide dasar Mazmur 133 menjadi setara dengan filosofi persaudaraan orang Maluku tadi (hidup orang Basudara, potong di kuku rasa di daging), maka tema ini sebetulnya melampaui dimensi Kristiani dan bergerak memasuki dimensi "kemalukuan". Dalam kemalukuan inilah perbedaan bisa ditemukan dan dalam perbedaan itulah setiap orang dianggap sebagai "sesama Basudara". Artinya, bahwa bahwa tema ini ialah padanan antara dimensi teologi Kristen dan filsafat kemalukuan. Oleh karena itu, Pesparawi Ambon mesti dilihat bukan lagi sekedar proyek gereja atau kegiatan yang bersifat gerejawi, melainkan proyek kemanusiaan yang mempromosikan hidup bersama dengan "sang liyan" (the others) dalam perdamaian. Nampaknya, pesan ini mulai menyerang sendi-sendi kesadaran segenap orang Maluku.

Pesparawi kali ini juga menawarkan sesuatu bagi bangsa Indonesia yang terus diancam dengan disharmoni dan konflik antar golongan. Hidup persaudaraan di Indonesia sekarang ini nampaknya bersifat semu. Oleh karena itu, di tengah konteks seperti ini Pesparawi ini menawarkan sebuah opsi lain, yakni opsi "hidup rukun" atau "hidup orang Basudara". Hidup yang rukun atau hidup orang Basudara itu bisa tercipta jika semua orang mau berjumpa dengan sesamanya yang berbeda dan dalam perjumpaan itu mereka mampu mengelola perbedaan sebagai kekuatan atau potensi membangun harmoni, seperti kata Presiden Jokowi pada pembukaan kegiatan ini; "Kita lahir dari rahim yang sama. Kita lahir dengan wajah yang berbeda sama seperti paduan suara yang hadir dengan jenis sopran, alto, bass dan tenor. Namun, apabila itu dibawakan, bergerak bersama maka akan menciptakan harmoni yang indah. Jadilah seperti itu di Indonesia".

Jika Pesparawi ini menjadi arena berjumpa untuk menciptakan persaudaraan yang rukun, maka Pesparawi ini telah bergerak melampaui sekedar kompetisi tarik suara, menjadi sebuah momentum dimana gagasan rukun dan damai terus dikumandangkan lewat nada dan syair. Pesparawi sebagai narasi damai Indonesia di Maluku! 

Keterlibatan semua pihak untuk menyukseskan kegiatan ini, termasuk dari saudara-saudari Muslim Ambon, nampaknya menjadi bentuk kongkrit dari upaya menerjemahkan tema tadi ke dalam konteks nyata. Beberapa media menyiarkan bagaimana komunitas Muslim Ambon menyambut para peserta yang datang dari 34 provinsi di Indonesia. Bukan hanya itu, mereka pun bersedia menjadi tuan dan nyonya rumah bagi peserta yang beragama Kristen itu. Ini ialah sesuatu yang dalam konteks Ambon harus dilihat sebagai progres dalam proyek perdamaian. Sebagaimana diketahui, Ambon pernah menjadi lahan konflik antara dua komunitas Basudara - Salam (Muslim) dan Sarane (Kristen). Konflik itu telah mengukir serangkaian pengalaman pahit yang sulit dihilangkan dari kesadaran kolektif masyarakat. Dan salah satu dampak konflik itu ialah segregasi demografis atau geografis (segregated by abide) yang bisa saja melahirkan segregasi cara pandang (segregated by mind). Upaya mengatasi kesenjangan ini tentu cukup sulit, namun kehadiran Pesparawi di Ambon telah ikut berpartisipasi setidaknya untuk memperlebar ruang perjumpaan, dari sekedar di ruang publik ke ruang privat- dari lapangan Merdeka (Centre point di Ambon) atau pasar Mardika ke "dapur" dan "kamar" Basudara Muslim Ambon. 

Perjumpaan itu tentu akan memungkinkan orang belajar tentang sang liyan dari sang liyan itu sendiri. Perjumpaan itu juga tak hanya memungkinkan orang saling belajar tentang agama yang berbeda, tapi juga belajar tentang kultur atau budaya yang berbeda. Perjumpaan itu memungkinkan Indonesia memahami totalitas hidup orang Maluku dari orang Maluku itu sendiri. Akhirnya, perjumpaan itu bisa menjadi benih dari persaudaraan yang rukun di Indonesia. 

Kemajuan dalam mengelola konflik masa silam menjadi lahan damai masa kini telah membuat Maluku, terutama Ambon, muncul sebagai "laboratorium perdamaian". Oleh karena itu, sudah saatnya Maluku tampil sebagai destinasi untuk orang belajar tentang konflik dan damai, sebab damai yang lahir dari rahim Maluku ialah damai yang pernah berdarah-darah. Artinya, gagasan sosiologis maupun teologis yang muncul di sana benar-benar berdasarkan pengalaman riil yang harus terus dikomunikasikan dalam kehidupan berbangsa, bangsa Indonesia.

Selamat mengumandangkan damai lewat lagu.