Total Tayangan Halaman

Kamis, 13 Agustus 2015

Wong Cilik Menyimak Pidato di Senayan.

Dalam sidang Paripurna MPR di Jakarta pagi tadi, Presiden #Jokowi berkesempatan utk menyampaikan pidato kepresidenan. Salam Multi-religius mengawali uraian tentang keberhasilan pengelolaan negara oleh lembaga-lembaga negara, yang sayang sekali dalam amatan saya, cenderung yang baik-baik saja. Okelah, sebagai wong cilik saya patut berterima kasih untuk ibu-bapak yang terhormat. Danke! 

Pada lain pihak, dalam mendengarkan pidato yang kurang lebih 20 menit itu, saya menunggu dan berharap semoga bapak Presiden juga akan berbesar hati memperlihatkan banyak kegagalan lembaga negara dalam berpartisipasi membangun bangsa yang bersih dari budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme, diskriminasi atas identitas tertentu, serta pertarungan hegemonis di lingkungan birokrasi dan elit politik yang cenderung menempatkan rakyat kecil sebagai korban. Memang beberapa isu "dicubit" tanpa mengangetkan audiens dan tanpa aksentuasi! Semoga saja ini lalu tak mengarah pada politik identitas atau upaya membangun citra! Saya bisa salah, juga bisa benar.

Well, lepas dari semua "paparan cantik" tentang prestasi lembaga negara, saya rasa pernyataan Pak Presiden, "...Negara sedang berperang... Berperang untuk memenangi perdamaian... Memenangi kesejahteraan... Dan memenangi kehidupan rakyat yang berbahagia...", nampaknya menarik untuk disimak. Dalam suasana Selebrasi Kemerdekaan RI, pernyataan ini mendapat konteksnya. Pernyataan ini haruslah dianggap sebagai pengakuan akan kegagalan semua elemen negara atau bangsa dalam mengelola bangsa ini menjadi bangsa yang damai, sejahtera, dan bahagia. Saya sendiri tak tahu apakah 70 tahun ini tak cukup untuk menggiring bangsa ini menjadi bangsa yang sudah bebas dari konflik, kemiskinan, penindasan, dan diskriminasi? Dengan sedikit menengok ke negeri Singa yang usianya 20 tahun lebih muda, nampaknya dugaan saya tadi tak bisa dibenarkan! 70 tahun ternyata lebih dari cukup untuk membawa Indonesia menjadi Garuda yang terbang tinggi! Lantas, apa yang salah dengan upaya berbangsa dan bernegara kita? Saya pun tak tahu pasti! Semoga pernyataan bapak Presiden tadi setidaknya menyentak semua golongan tanpa kecuali, borjuis maupun proletar, elit ataupun wong deso untuk membangun kritik diri.

Satu gagasan pun disodorkan; transformasi paradigma pembangunan dari "bangsa yang konsumtif" menjadi "bangsa yang produktif". Paradigma yang menjanjikan perubahan posisi yang sekaligus menentukan "tempat duduk" atau "tempat berdiri" Indonesia di aras global. Saya sepakat! Paradigma pembangunan harus ditransformasi habis-habisan. Tawaran Pak Presiden dibarengi dengan ide praktis terkait pembangunan infrastruktur dan peningkatan layanan kesehatan! Sayang sekali, signifikansi pendidikan nampaknya dielakkan! Padahal, pembangunan yang berhasil berakar pada "otak" anak bangsa yang cerdas dan "hati" yang luhur. Pembangunan semestinya tak bisa dimulai dari jalan raya, jembatan, atau bangunan fisik, tapi harus dimulai dari "ruang kelas". 

Dengan masih tetap optimis dan percaya pada pemerintahan yang sedang berlangsung, pernyataan beliau di akhir pidato serasanya semakin meneguhkan cita-cita luhur bangsa. "Ingat, kita sedang berjuang untuk Mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia". Dalam perjuangan ini semua pihak harus dilibatkan! "Kita" jangan ditafsirkan secara pragmatis, yakni yang mengarah pada "tuan dan nyonya" di parlemen sana, tapi "kita" juga adalah wong cilik di Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Bali, Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Kita adalah segenap tumpah darah Indonesia!

Selamat Menyambut HUT RI ke-70!
Merdeka!