Total Tayangan Halaman

Jumat, 11 Juli 2014

The Church and Challenging Contexts for Justice and Peace in Asia

The struggle for promoting life, justice, and peace is the task and the responsibility of church in the world. The churches believe to God as the God of Life, the Source of Justice and Peace, that is why they are called to promote life and to bring justice and peace in this world. The church can only be a truly and genuine community of God, when they can strive for the justice and peace. Both justice and peace are at the very heart of God, so the denial of justice and peace is actually the denial of God from whom they flow. The Life, Justice, and Peace are interconnected each other and cannot be understood separately. There will be no peace without justice, and when peace are absent in this world the life is actually at stake and threatened. Justice is just a means which we take to bring life for those whose life have been denied as well as for the whole creation, and to offer peace as a single option to this divided and conflicting world.

As an integral part of the World Christianity, the Churches in Asia are also responsible to strive for the betterment of life through their efforts for justice and peace in Asian continent.  This is all about the ministry of church to the world. However, the Churches in Asia have to be aware of the challenges they are facing in the process of seeking justice and peace. There are some issues need to be taken into account when they are doing the ministry in Asian context:

Asia is the most populated place (a half of world population live in Asia) as well as the most diverse continent in the world. Its inhabitants are diverse in terms of ethnic, religious, cultural, national, habit, and lifestyle backgrounds.

These differences are sometimes causing the tension or conflict among people. One of the examples is the religious conflict between two religious adherents fighting in the name of God. The Moslem-Christian conflict in my local context (Maluku, Indonesia) which occurred in the period of 1999-2004 has clearly indicated it. Up to now, in many parts of Asia we can see that religious conflicts still occur. One of the visible impacts of the conflict is displacement and refuges.

Beside the religious conflicts, Asia is also a place for the militarization, nuclear production, terrorism, and violation of human rights. Especially in term of terrorism, many religious extremist groups have based their movements in Asia, by which Asia is seen as the home for the world terrorism. Many cases of the violation of human rights have also clearly shown that the actors of such a violation are not only “people” (people to people), but also “state” (state to people).

Despite of economic growth, Asia is still a home for a million hungry people and the homeless. This reality signifies the existence of poverty in Asia. People are more difficult to get access of the basic needs, such as food, health, education, and houses, even many of them have died due to the lack of food. Many Asian people work over time, but lowly paid by the companies. Children have no access to go to school, as well as young people are unemployed. The deadly diseases such as HIV/AIDS are increasingly spreading in all over the continent. The others have to spend their life in the street living as the homeless. These realities make the poverty in Asia becoming more complicated.

The abuse of human is another issue in Asia, especially for the vulnerable groups. Human trafficking, discrimination against women and children, caste system, and injustice for migrant workers have obviously shown that the issue of human dignity in Asia is problematic and needs to be seriously considered.

The Asian churches now live on Earth that has continuously been exploited by human for the sake of human greed. Deforestation is the best example of the natural discrimination. As one of the large continent in the world, Asia has also contributed something for the climate change (global warming) due to the wide exploitation of Asian forests and any other natural resources by those who wanted to take an advantage of them.

Asian churches live and grow within those contexts and cannot get rid of them. Otherwise, they are called and sent by God in those challenging contexts to bring good news to the poor, the homeless, the sick, the stateless, the suffered, the discriminated, the victims of injustice, to people of different beliefs, and even to this earth. Those contexts are urgently calling the Churches in Asia to reflect upon their prophetic responsibility to speak and to work for justice and peace in this continent. The churches cannot only pray, but have to actively take part in the process of achieving justice and peace. This is because justice and peace is not only given by God, but also as a result of human struggle. The churches have to be the parts of such a struggle…

In the work for justice and peace in those problematic contexts of Asia, the churches cannot stand alone; otherwise they need “the others” to come together in the striving of justice and peace. They have to invite or accept the invitation of people of different faiths to walk together as equal partners in the pilgrimage towards justice and peace. The problems in Asia cannot be solved only by church, but also by all those who live in Asia regardless of their religious, ethnic, cultural, and national backgrounds. This is also because the church is not a universal answer to all the problems.  One important thing we have to bear in mind that the pilgrimage should be walked in the spirit of openness and respect to each other with their own differences. No matter how they are different, the common problems and goals have led them to be united.

Sabtu, 05 Juli 2014

Beberapa Catatan Reflektif Film "Cahaya Dari Timur: Beta Maluku"

Tragedi Maluku tahun 2000 perlu di-renarasikan kembali dalam sudut pandang yang positif, ketimbang suatu penyajian historis an sich tentang wajah konflik dan eksalasinya, yang tentu tidak berdampak pada upaya pemulihan batin (trauma healing) bagi banyak korban yang sampai sekarang masih bertahan, tetapi justeru sebaliknya memperkuat memori yang penuh dengan kebenciaan dan kekerasan. Upaya ini memerlukan sudut pandang yang berbeda, yang tidak memberi ruang bagi kecendrungan memberi penilaian siapa yang salah atau siapa yang benar, melainkan berfokus pada narasi-narasi damai yang hidup di tengah negeri yang lululantah akibat konflik sosio-keagamaan lima belas tahun silam. Saya pikir bahwa film "Cahaya Dari Timur: Beta Maluku" berhasil menyajikan perspektif ini dengan mengaudiovisualisasikan cerita nyata seorang pemuda Tulehu (salah satu negeri/desa di Maluku Tengah), Sani Taniwella. Sani merupakan seorang pemain bola asal Tulehu yang pernah menjuarai suatu pertandingan internasional di Brunai Darussalam pada tahun 1990an. Sayangnya, mimpi Sani untuk menjadikan sepakbola sebagai bidang profesinya kandas dan ia harus kembali ke tanah kelahirannya. Namun, ceritanya tidak berhenti di sini...

Periode kelam Maluku adalah hal yang tidak pernah dapat diduga oleh segenap orang Maluku, yang sampai saat ini tetap mempertanyakan bagaimana hal itu dapat terjadi? Siapa dalangnya dan apa kepetingannya? Bagi banyak orang saat itu, Maluku adalah tak lebih dari kumpulan pulau-pulau mati, yang tidak memberi ruang bagi adanya hembusan nafas manusia yang berbeda, tanah parang (pedang), senjata, dan bom, tanah orang menagis dan merintih. Tapi, Sani adalah pemuda yang sadar bahwa tak ada yang bisa mengubah Maluku, tanah orang basudara, negeri nene-moyang (leluhur), dan bumi yang menjanjikan masa depan bagi setiap insannya... Inilah yang membuat cerita hidup Sani tetang sepak bola mengalami titik balik, dari yang sekedar soal olahraga menjadi instrumen perdamaian, soal menang atau kalah menjadi soal mentalitas untuk tetap survive, dan soal "ale" (kau) dan beta (saya) menjadi soal "katong" (kita)...

Ada beberapa ide yang bisa saya catat dari film ini:

(1) Pemuda adalah kekuatan perdamaian yang potensial.

Peristiwa konflik dan kekerasan menyerap semua lapisan masyarakat terlibat sebagai aktor; sipil dan non-sipil, tua dan muda, laki-laki maupun perempuan. Sentimen keagamaan yang sempit menjadi alasan bagi keterlibatan massif semua golongan, atas satu tujuan: bela agama! Fakta ini menjadi semacam realitas umum saat itu. Rekonsiliasi dan perdamaian adalah dua hal yang dilihat sebagai ketidakmungkinan. Bahkan, siapa-siapa yang berjuang demi misi perdamaian dianggap sebagai lawan dan mengalami ekskomunikasi oleh komunitas. Dalam konteks seperti ini, bicara soal damai saja tidak akan begitu bermanfaat dalam mempengaruhi komunitas, sebab yang ada adalah agresifisme, kebencian, dan permusuhan

Di tengah situasi demikian, kemunculan tokoh pemuda yang bernama Sani menjadi hal yang menarik dengan peran yang dimainkannya dalam upaya melerai konflik. Ketika konflik merebak ke seantero negeri, pemuda ini memiliki strategi tersendiri untuk menarik perhatian anak-anak dari "baku tembak" ke "sepak bola". Ketika "tiang lonceng" berbunyi sebagai tanda perang dimulai, sang pemuda ini memilih jalan lain dengan mengumpulkan anak-anak untuk berlatih sepak bola. Di sini ia hadir dengan tawaran yang berbeda, tawaran yang tidak membawa pada aksi bunuh-membunuh dan trauma panjang sebagaimana yang ditawarkan oleh opsi perang. Sebaliknya, yang dilakukannya sebetulnya tawaran damai, tawaran yang melupakan kekerasan, tetapi sekaligus juga menjadi kritik bahwa parang harus dihentikan dan generasi Maluku berhak hidup dengan rasa damai.

Cerita hidup Sani ini menjadi pelajaran penting bagi kita, bahwa pemuda dengan kompetensi yang dimiliki mempunyai peranan penting dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik dan harus diupayakan demi terciptanya keadilan sejati. Dalam konteks ini, Sani memberi interpretasi lain terhadap olahraga, terutama sepak bola. Dalam perspektif Sani, sepak bola sepenuhnya bukan sekedar olahraga, apalagi pertandingan dimana ada kelompok yang disebut lawan, melainkan sebagai instrumen perdamaian. Hal ini menegaskan bahwa potensi yang dimiliki, apapun itu, harus diberdayakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan damai. Di sini saya teringat beberapa gerakan pemuda pasca-konflik di Ambon yang sangat aktif dalam pengembangan kreatifitas seni, sastra, dan olahraga. Komunitas-komunitas kreatif itu sebetulnya mewarisi spirit damai Sani, yakni menjadikan komunitas mereka sebagai tempat terjadinya "dialogue of life" dan jembatan yang mempertemukan para pemuda lintas iman, ketika masyarakat Maluku semakin tersegregasi secara demografis. Semoga saja mereka akan tetap hidup...

(2) Beta Maluku: Subtitusi terhadap Beta Salam dan Beta Sarane!

Di tengah konflik dan kekerasan yang muncul akibat politisasi agama, kesadaran identitas berdimensi  geografis, kultural, dan etnisitas perlu dipromosikan: Beta Maluku! Ini adalah identitas universal yang ditawarkan kepada orang-orang Maluku saat itu. Aspek ini kuat sekali dalam film ini. Identitas-identitas yang partikular bisa menimbulkan persinggungan jika tidak dihayati sebagai identitas minor dari sebuah identitas yang lebih besar. Hal ini yang sebetulnya terjadi dalam konteks konflik Maluku. Dalam arti tertentu, konflik Maluku adalah konflik identitas, antara "beta Salam" dengan "beta Sarane". Kedua identitas ini dipertaruhkan dalam kutub yang saling berlawanan, tentu dengan tujuan untuk melihat mana yang lebih unggul dan mampu bertahan. Adegan yang diperankan oleh "Salembe" dan "dua anak Passo" dalam cerita film ini adalah indikasi nyata tentang adanya pertarungan identitas tadi. Salembe merepresentasikan "Beta Salam" dan dua anak Passo itu merepesentasikan "Beta Sarane", namun Sani tampil dengan pilihan ketiga, "Beta Maluku". Dengan begitu, "Beta Maluku" adalah subtitusi dari Beta Salam atau Beta Sarane di tengah ketegangan yang muncul akibat partikularisme religius ini.

Dalam konteks orang Maluku, ketika seseorang menyebut "beta Maluku", hal ini tidak sekedar menjadi keterangan identitas, tetapi mengandung penghayatan yang dalam secara emosional tentang kemalukuan. Istilah "Maluku" tidak hanya dipahami sebagai suatu nama tempat, tetapi sebagai jati diri dan harga diri, sebagai eksistensi dan integritas seseorang yang mendiaminya. Ikatan emosional yang kuat terhadap kemalukuan membuat seseorang bisa melakukan apa saja, termasuk anarkisme, untuk membela identitas ini. Dengan begitu, dengan mengusulkan identitas pengganti, Sani menyentuh hal yang paling dekat dengan emosionalitas anak-anak negeri ini. Alhasil, ketegangan internal yang muncul antara Salembe dan dua anak Passo yang Kristen itu bisa dipatahkan.

Dalam konteks Maluku pasca-konflik, identitas ini masih perlu untuk dipromosikan. Setiap generasi yang hidup saat ini harus tetap sadar bahwa "katong Maluku" (Kami Maluku). Identitas ini harus menjadi semacam alat kontrol bagi perilaku sosial masyarakat Maluku sendiri. Kalau tidak mau identitas kemalukuan dilecehkan dan dimanipulasi untuk kepentingan orang lain, sebagaimana yang terjadi lima belas tahun silam, maka anak-anak Maluku harus terus meningkatkan kapasitas dirinya supaya tidak gampang dipermalukan karena kemalukuannya. "Katong Maluku" juga harus menjadi pelajaran bagi dunia lain, bahwa kami mampu menjadi contoh dari sebuah perjuangan damai, yakni damai yang dihasilkan dalam proses yang berdarah-darah. "Katong Maluku" harus jadi cerita bagi orang lain tentang sebuah kekuatan perdamaian yang harus diupayakan dengan menyentuh sisi terdalam manusia.

(3) Terus Mencari Keadilan!

Konflik Maluku menyisakan pertanyaan tentang siapa yang bertanggungjawab atasnya? Siapa sutradara dari skenario besar ini? Mengapa dan untuk apa? Ini pertanyaan tentang keadilan, tentang jiwa-jiwa yang mati dihungus pedang, ditembusi peluru, dan ditelan bom. Dari mana peluru dan bom itu datang? Ini pertanyaan tentang ribuan pengungsi dan pertanyaan tentang rasa aman yang direnggut!

Aspek ini sebetulnya disadari oleh sang sutradara film ini, namun sayangnya hal ini tidak berani dielaborasi lebih lanjut, atau setidaknya memberi respons atas sensitifitas "Salembe" mengenai profesi "polisi". Si tokoh ini sebetulnya mewakili ribuan orang Maluku yang menduga adanya keterlibatan kekuatan lebih besar, yakni kekuatan non-sipil dalam konflik Maluku lalu. Bukan rahasia lagi, bahwa kelompok non-sipil juga turut mempengaruhi tingginya eskalasi konflik.

Sekalipun sang sutradara tidak terlalu jauh menyinggung aspek ini, namun kemunculan tokoh Salembe menjadi "reminder" (pengingat) bagi mereka, para pelaku intelektual dan kroni-kroninya, bahwa kami orang Maluku tidak lupa sejarah, bahwa kami pernah dibodohi untuk kepentingan mereka dan akan terus bertanya dan mencari keadilan, supaya mereka tahu bahwa kami tak bisa lagi dibodohi karena kami berbeda! Mereka tak lagi bisa memanfaatkan kami, supaya dengan leluasa mereka dapat meraup keuntungan dari manusia yang saling membunuh dan kota yang dibumihanguskan. Kami akan terus bertanya, sampai kami mendapat jawabannya...

 
Salam Damai dari Waai,
Negeri Korban "Politisasi Agama",
06 Juli 2000 - 06 Juli 2014