Total Tayangan Halaman

Selasa, 18 Maret 2014

Menyongsong Pesta Demokrasi; "Orang Kristen dan Partisipasi Politik yang Cerdas"

Orang Kristen di Indonesia sejak zaman Orde Baru telah menunjukkan sikap yang apatis terhadap hal-hal yang berbau politik. Memang, bahwa ada beberapa orang Kristen, atau tokoh gereja yang secara aktif terlibat dalam proses politik di negeri ini. Kita kenal nama-nama seperti Prof. Sahetapy yang kerapkali muncul dengan pikiran-pikirannya tajam dan cerdas, Dr. Radjawane, seorang teolog asal Talake, dan tokoh-tokoh lainnya. Sekalipun demikian, keterlibatan tokoh-tokoh ini belum dapat mewakili keberadaan orang Kristen di tengah konteks perpolitikan Indonesia. Prof. Geritt Singgih, teolog Jogja, pernah mengatakan bahwa rendahnya partisipasi politik orang Kristen dipengaruhi oleh pengalaman traumatis G30 SPKI dimana orang Kristen dituduh terlibat dalam gerakan itu. Oleh karenanya, orang Kristen cenderung alergis terhadap politik, semata-mata untuk mencari posisi aman. Selain itu, saya pikir juga bahwa sikap yang alergis ini turut dipengaruhi oleh apa yang disebut dengan "minority syndrome", yakni kecendrungan menganggap diri sebagai minoritas, sehingga muncul pikiran bahwa biarlah sudah negara ini diatur oleh orang-orang mayoritas. Padahal, kita harusnya menjadi "creative minority".

Kecendrungan yang alergis ini masih tetap saja menguat di era pasca-reformasi ini. Fobia yang muncul berdasarkan pengalaman traumatis seperti telah disinggung tadi telah mengalami pergeseran pada cara pandang dan teologi yang mengukuhkan pandangan bahwa gereja atau orang Kristen tidak memiliki urusan apapun dengan politik, atau hanya berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya "sorgawi", bukan "duniawi" (saya sendiri bingung apa yang dimaksud dengan yang sorgawi dan duniawi dalam kaitan dengan peran gereja). Hal ini membuat banyak orang Kristen yang tidak menggunakan hak partisipasi dan tanggungjawab politiknya dalam kerangka pembangunan masyarakat yang lebih berkualitas. Nah, bicara soal hubungan orang Kristen dan politik, maka kita sebetulnya bicara soal dua hal - yakni hak partisipasi dan tanggung jawab. Hak partisipasi berkaitan langsung dengan keterlibatan seseorang dalam proses politik praktis (pileg, pilkada, dan pemilu). Sementara itu, tanggung jawab politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yakni menyangkut peran serta orang Kristen dalam mengawal proses, dinamika, dan kebijakan politis yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kejujuran, HAM, dan demokrasi. Dua hal ini kerap diabaikan oleh orang Kristen, tentu karena pandangan teologis tadi. Benarkah, bahwa warga gereja tidak memiliki urusan apapun dengan politik?

Kalau kita membaca Yeremia 28:7, maka kita akan menemukan jawaban atas pertanyaan yang menggelitik ini. Teks ini merupakan pesan yang disampaikan Yeremia kepada umat Allah yang saat itu berada dalam pembuangan. Konteks saat itu adalah bahwa Allah menggunakan Babilon untuk menghajar umat Allah di Yehuda ketika Yoyakim memerintah sebagai raja. Raja Yoyakim dianggap sebagai pemerintah yang jahat dan lalim terhadap rakyatnya. Akibatnya, pada tahun 587 S.M. Yehuda jatuh dan umat dicerai-beraikan - ada yang bermigrasi ke Babilon dan ada yang tetap tinggal di Yehuda. Yeremia sendiri tinggal di situ dan menulis surat kepada umat di pembuangan. Dalam konteks inilah, kita memahami mengapa salah satu pesan Yeremia adalah, "usahakanlah kesejahteraan kota dan berdoalah untuk kota itu".

Dengan menganjurkan umat Allah untuk mengupayakan kesejahteraan kota, maka Yeremia sedang menegaskan bahwa tanggung jawab iman orang Kristen tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya spiritualitas atau ritual (mungkin ini yang diidentifikasi sebagai yang surgawi?), tetapi juga bersifat sosial dan politis. Yeremia tidak menganjurkan umat untuk mengambil jarak, alargis, dan apatis terhadap situasi sosial dan politis yang terjadi, tetapi justeru merangsang mereka untuk berpikir dan bertindak dalam membangun kehidupan sosio-politik yang lebih baik, karena memang pada dasarnya kehidupan iman dan kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan. Aristoteles sendiri pernah mengatakan, bahwa "man is a political animal". Terlepas dari perdebatan mengenai makna konsep "animal" di sini, penegasan Aristoteles mengisyaratkan bahwa dimensi politis adalah sesuatu yang inheren dalam diri manusia.

Pesan Yeremia tidak hanya menegaskan tanggung jawab politik orang Kristen, melainkan menjadi salah satu rumusan Kristiani tentang politik. Bahwa, politik adalah sistem yang dibangun secara kolektif demi kesejahteraan bersama. Politik harus berpangkal pada peningkatan kualitas hidup komunitas. Dalam ilmu politik sendiri, istilah politik diambil dari bahasa Yunani "polis" yang artinya "kota", atau "poli" yang artinya "banyak". Jadi, politik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan komunitas. Dengan demikian, konsekuensi logisnya adalah bahwa segala kebijakan politik yang mengarah pada kepentingan diri dan kelompok sendiri pada dasarnya bertentangan dengan hakikat politik dan juga iman Kristen. Oleh karena itu juga, pemimpin yang tidak mensejahterakan hidup bersama adalah pelaku dosa politik yang kejam.

Hal lain yang ditegaskan Yeremia yaitu "berdoalah untuk kota itu". Ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab kristiani terhadap politik. Dengan ini Yeremia menegaskan bahwa kesejahteraan atau kehidupan yang lebih baik tidak bisa dipisahkan dari Allah. Kesejahteraan adalah sia-sia sejauh itu berada di luar Allah. Saya pikir bahwa relevansi pernyataan Yeremia adalah kita harus mendoakan seluruh proses dan dinamika politik yang terjadi. Mendoakan proses demokrasi harus menjadi pergumulan bersama, supaya proses tersebut menjadi proses yang jujur dan adil, sehingga melahirkan pemimpin-pemimpin yang juga jujur dan adil dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam hitungan beberapa hari lagi, rakyat Indonesia merayakan pesta demokrasi melalui agenda pemilihan legislatif yang akan disusul dengan pemilihan umum. Sehubungan dengan ini, maka ada beberapa hal yang bisa dikatakan:

(1) Mari kita sama-sama mewujudkan tanggung jawab politik kita dalam rangka mensukseskan pesta demokrasi ini. Jangan golput atau tidak memilih, sebab golput bertentangan dengan pesan Yeremia. Kalau kita tidak memberikan suara kita, maka kita tidak terlibat dalam upaya "mensejahterakan kota". Golput juga adalah keputusan yang merendahkan harkat dan martabat kita sebagai warga negara yang berkewenangan.

(2) Partisipasi kita dalam proses demokrasi haruskah merupakan partisipasi yang cerdas! Yang diamksud dengan partisipasi yang cerdas yaitu kita mampu memilah, menilai, dan memilih orang-orang yang tepat, layak, dan credible sebagai wakil rakyat. Jangan memilih orang-orang yang hanya berdiri untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Jangan pilih berdasarkan kedekatan emosional atau hubungan kekeluargaan, dan cobalah menggunakan akal sehat yang menjunjung tinggi objektifitas dalam memilih. Lihat kemampuan yang bersangkutan (kecerdasan intelektual, emosional, dan sosial ybs., pengetahuan dan pengalaman politiknya, integritas dan kepribadian, serta apa visi dan sejauh mana ia teruji).

(3) Mari jaga identitas dan integritas diri kita sebagai orang Kristen! Jangan biarkan diri, keluarga, dan komunitas kita jatuh pada kolam hitam "money politics" (politik uang). Suara yang kita miliki jauh lebih berharga dari uang yang kita terima. Jangan jual masa depan kita dengan sejumlah uang yang tidak pernah sepadan dengan harga masa depan kita.

(4) Sehubungan dengan tanggung jawab politik kita, maka mari kita sama-sama mengawal dan mengontrol proses pileg dan pemilu 2014 ini. Hal ini karena kita sadar bahwa dalam politik hitam bisa jadi putih, dan sebaliknya, namun sebagai orang Kristen kita harus memastikan bahwa hitam tetap hitam, dan putih tetap putih. Oleh karena itu, kawal terus proses itu dan jangan ragu untuk melaporkan kepada pihak yang berwewenang apabila ditemui praktek-praktek yang curang dan menciderai demokrasi.

Selamat ber-Pesta Demokrasi,
Salam dari kaki gunung Salahutu untuk Indonesia.